Mau tidak mau, PGRI ikut terseret ke dalam pertarungan.
Sumbu perpecahan justru muncul dari dalam. Ketua Umum PGRI saat itu, M.E. Subiadinata, mengambil keputusan krusial yang memicu kontroversi.
Ia secara sepihak mengarahkan PGRI bergabung dengan SOKSI, organisasi buruh bentukan militer yang disponsori langsung Angkatan Darat (Kumparan, 2022).
Langkah ini menabrak prinsip dasar PGRI. Non-partisan adalah jiwa organisasi.
Tak heran kemarahan meledak di kalangan anggota. Banyak yang merasa marwah organisasi dikhianati dan independensinya digadaikan.
Protes bermunculan dari berbagai daerah. Tuntutannya jelas. Kembalikan PGRI ke posisi netral. Mereka menolak PGRI dijadikan alat militer.
Dari gelombang protes itulah perpecahan lahir. Kelompok yang menentang keputusan tersebut membentuk organisasi tandingan bernama PGRI non-Vaksentral (Jurnal Artefak, 2018).
Penamaan itu tegas menyatakan posisi mereka. Mereka menolak afiliasi dengan kekuatan politik mana pun, terutama SOKSI.
Dukungan datang cepat dari banyak wilayah, dari para guru yang masih berpegang pada idealisme.
Namun narasi resmi Orde Baru berjalan ke arah lain.
Setelah 1965, lewat sejarawan seperti Nugroho Notosusanto, rezim menyebut PGRI non-Vaksentral sebagai bentukan PKI untuk menyusup dan menguasai komunitas guru demi kepentingan komunisme (Penerbit BRIN, 2021).