Istilah buzzer kini hampir selalu bernada negatif. Ia lekat dengan hoaks, ujaran kebencian, dan kegaduhan di ruang digital.
Tapi apakah strategi "mendengung" itu selalu buruk? Dalam teori, ia bisa dipakai untuk hal yang baik. Misalnya kampanye antikorupsi atau sosialisasi program pemerintah yang bermanfaat.
Sayangnya, skenario semacam ini jarang dibahas. Di saat yang sama, batas antara buzzer bayaran dan pendukung militan sangat tipis.
Keduanya sama-sama menyerang lawan dengan narasi seragam. Tanpa bukti transaksi uang, sulit membedakannya. Publik akan kesulitan menilai.
Soal efektivitas, banyak yang yakin buzzer sangat berpengaruh dan mampu membentuk opini. Kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Di kalangan pemilih kritis, aksi buzzer justru bisa jadi bumerang. Kandidat yang mereka dukung kehilangan simpati karena dianggap memakai cara yang tidak etis.
Usulan membuat aturan khusus terdengar menarik. Apalagi jika diarahkan untuk menertibkan para pelaku.
Namun ini bisa menjadi pedang bermata dua. Regulasi semacam itu rawan disalahgunakan.
Kita pernah belajar dari penerapan UU ITE yang kerap dipakai membungkam suara kritis (SAFEnet, 2024). Aturan baru soal buzzer berisiko mengulang pola yang sama.
Keberadaan buzzer sendiri bukan akar masalah. Mereka lebih tepat disebut gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam.
Problem utamanya adalah literasi digital yang masih rendah. Berbagai survei menunjukkan hal ini (Katadata, 2023).