Sejarah diplomasi awal Indonesia selalu punya cerita. Banyak yang menulisnya dengan nada sangat idealis.
Dari situ lahir prinsip "bebas aktif". Sebuah gagasan luhur yang kemudian menjadi landasan politik luar negeri kita (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia).
Mohammad Hatta memperkenalkannya untuk pertama kali saat ia masih menjabat wakil presiden. Gagasannya ia sampaikan lewat pidato yang kemudian masyhur pada tahun 1948.
Pesannya sederhana dan tegas. Bahwa Indonesia tidak memihak Blok Barat. Juga tidak bergabung dengan Blok Timur. Negara ini ingin berdiri di kaki sendiri, menentukan arah sendiri. Itu sejalan dengan catatan Kompas.com tahun 2021.
Tapi apakah semua murni idealisme? Mungkin tidak sesederhana itu. Jika dilihat dari kacamata yang lebih praktis, kondisinya berbeda.
Indonesia saat itu baru lahir. Posisi politiknya rapuh.
Kekuatan militer belum seberapa. Ekonomi baru dirangkai ulang.
Dalam keadaan begitu, bersikap netral adalah pilihan paling aman. Bukan cuma urusan prinsip, melainkan strategi bertahan hidup.
Salah langkah bisa berakibat fatal. Negara yang masih ringkih mudah terseret arus pertarungan dua adidaya.
Di sini politik bebas aktif tampil sebagai langkah cerdas. Pragmatis, sekaligus menjaga eksistensi nasional.
Lalu suasana berubah cepat. Presiden Sukarno mengambil kendali penuh dan membawa negeri ini ke era Demokrasi Terpimpin.