Lulus kuliah saat ekonomi lesu sering terasa seperti kebetulan buruk. Ada istilah ekonomi untuk itu: efek bekas luka.
Intinya sederhana, tapi dalam. Kondisi ekonomi saat seseorang masuk pasar kerja bisa membentuk arah karier dan memengaruhi pendapatan sepanjang hidup.
Salah waktu bisa meninggalkan jejak yang susah dihapus. Tapi seberapa akurat pandangan itu hari ini? Apakah ada faktor lain yang kini ikut bermain?
Kita juga perlu hati-hati saat membandingkan satu krisis dengan krisis lain, karena pola hantamnya tidak selalu sama. Krisis moneter 1998, misalnya, menghajar sektor keuangan dan perbankan (Liputan6.com, 2021).
Berbeda dengan krisis akibat pandemi yang menumbangkan jasa, pariwisata, dan ritel karena pembatasan mobilitas masyarakat (detikFinance, 2020).
Pekerjaan yang hilang beda, peluang baru yang tumbuh juga beda. Menyamakan semua krisis justru menutupi solusi yang sebenarnya dibutuhkan.
Ada pula keyakinan bahwa teknologi adalah penolong utama. Platform online membuka pintu yang dulu tidak kebayang, dari LinkedIn sampai situs freelance.
Lulusan baru bisa berburu kerja, bahkan menawarkan jasa sendiri. Hanya saja, koin ini punya dua sisi.
Ekonomi digital memberi fleksibilitas, tetapi juga membawa masalah baru. Banyak riset menemukan pola yang mirip: kerja lepas kerap tidak stabil, pendapatan naik turun (Kumparan, 2025), dan sering tanpa jaminan sosial.
Anak muda mudah terjebak dalam pekerjaan serabutan yang tidak memberi jalur karier yang jelas (Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNESA).
Fokus yang terlalu sempit pada sarjana juga menyesatkan. Kita bisa kehilangan gambaran besar tentang siapa yang paling rentan ketika ekonomi sedang susah.
Mereka yang tidak memiliki ijazah tinggi sering menanggung beban lebih berat. Data BPS berulang kali menunjukkan hal yang konsisten. Bahwa pengangguran di tingkat SMA atau SMK lebih banyak.
Persentase pengangguran sarjana memang terlihat tinggi, tetapi lulusan lain sering lebih susah menembus sektor formal. Banyak yang akhirnya terserap ke sektor informal dengan perlindungan yang minim (CNBC Indonesia, 2025; Bloomberg Technoz, 2025).
Tetap ada sisi yang bisa dipetik. Lulus di masa sulit bisa jadi tempaan karakter. Anak muda dipaksa lebih kreatif, lebih ulet, dan lebih adaptif.
Mereka belajar bertahan, mencari celah, dan tidak cepat menyerah. Pengalaman seperti ini membangun daya lenting mental yang nantinya menjadi modal penting untuk karier. Apalagi di masa depan yang serba tidak pasti.
Ini bukan semata soal nasib baik atau buruk. Yang dipertaruhkan adalah kesiapan sistem.
Apakah pendidikan kita benar-benar mempersiapkan lulusan untuk kerja? Mampukah mereka beradaptasi cepat? Konsep link and match relevan di sini, menghubungkan kurikulum dengan kebutuhan industri (Jurnal Registratie IPDN, 2020).
Tanggung jawabnya tidak hanya di kampus. Pemerintah perlu menyediakan jaring pengaman dan intervensi yang tepat sasaran. Perusahaan juga perlu ikut serta.
Program magang yang terstruktur, misalnya, bisa menjadi jembatan nyata dari dunia akademik ke dunia profesional, dan para pakar menilai pendekatan seperti ini penting (Antara News, 2025).
Singkatnya, jangan berhenti pada menyalahkan keadaan. Arahkan energi ke perbaikan sistem bersama. Di sana peluang keluar dari efek bekas luka jadi lebih besar, untuk lulusan baru maupun mereka yang masih berjuang masuk ke pekerjaan yang layak.
***
Referensi:
- Antara News. (2025, September 15). Pakar menilai program magang berbayar bisa tekan angka pengangguran. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/5110589/pakar-menilai-program-magang-berbayar-bisa-tekan-angka-pengangguran
- Bloomberg Technoz. (2025, Mei 16). Tamatan SMA & Sarjana Banyak Menganggur, Rakyat Butuh Pekerjaan. Diakses dari https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/71395/tamatan-sma-sarjana-banyak-menganggur-rakyat-butuh-pekerjaan
- CNBC Indonesia. (2025, Mei 1). Banyak Sarjana Menganggur, Gelar & Ijazah Tak Bisa Lagi Jadi Senjata. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/research/20250501113031-128-630195/banyak-sarjana-menganggur-gelar-ijazah-tak-bisa-lagi-jadi-senjata
- detikFinance. (2020, Mei 8). Krisis Ekonomi Akibat Corona Lebih Parah dari 1998, Kok Bisa? Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5007219/krisis-ekonomi-akibat-corona-lebih-parah-dari-1998-kok-bisa
- Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNESA. (2025, Februari 6). Fenomena Generasi Muda yang Beralih ke Freelance dan Gig Economy. Diakses dari https://pe.feb.unesa.ac.id/post/fenomena-generasi-muda-yang-beralih-ke-freelance-dan-gig-economy
- Kumparan. (2025, Maret 23). Freelance di Era Digital: Kebebasan dan Ketidakpastian Hak Ketenagakerjaan. Diakses dari https://kumparan.com/tarsisius-gloriant-simbolon/freelance-di-era-digital-kebebasan-dan-ketidakpastian-hak-ketenagakerjaan-24isJRdbNM0
- Liputan6.com. (2021, Desember 16). Membandingkan Krisis Ekonomi Dampak Pandemi dengan 1998, Mana Cepat Pulih? Diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/4767398/membandingkan-krisis-ekonomi-dampak-pandemi-dengan-1998-mana-cepat-pulih
- Registratie: Jurnal Ilmiah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). (2020). Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan pengangguran di Indonesia. Diakses dari http://eprints.ipdn.ac.id/6283/1/Registratie%20IPDN%20Vol%202%20No%201%20tahun%202020%20LENGKAP-halaman-5-12.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI