Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Hikayat Kentang, Singkong, dan Ubi: Ketika Pendatang Jadi Tuan Rumah

23 September 2025   23:00 Diperbarui: 18 September 2025   22:16 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah umbi di Indonesia memang seru. Ada tiga tokoh utama yang sering kita jumpai. Ubi, singkong, dan kentang.

Ketiganya bukan tanaman asli sini. Mereka datang dari benua Amerika dan sudah dikenal di Nusantara sejak berabad-abad lalu (Kompas.com, 2022).

Sekarang, mereka menyatu dengan budaya makan kita, menempel di dapur, dan rasanya sulit dipisahkan.

Sejarah mereka bukan sekadar soal bahan pangan. Ini cerita perubahan selera, penyesuaian ekonomi, juga pergeseran status sosial yang dinamis.

Perjalanan ini menunjukkan betapa terbukanya budaya kita terhadap pendatang. Tak heran kalau ketiganya jadi kesayangan banyak orang.

Dulu, garis pemisahnya terasa tebal. Kentang identik dengan orang kota, modern, dekat dengan restoran cepat saji dan gaya hidup urban.

Sementara di sisi lain, singkong dan ubi jalar dilabeli makanan desa, tradisional, anak cucu masyarakat agraris (Kompas.com, 2022).

Citra mereka sederhana, kadang dianggap kuno. Tapi apakah batas itu masih berlaku sekarang? Rasanya tidak. Garisnya makin kabur dan sulit dipertahankan.

Coba lihat sekitar. Di kafe yang lagi ngetren, keripik singkong hadir dengan rasa premium dan harga yang tidak lagi murah. Anak muda suka.

Ubi Cilembu panggang dengan rasa madunya lumer jadi hidangan penutup favorit. Kentang goreng beku? Mudah ditemui, bahkan di warung kecil di pelosok desa.

Selera kota dan desa saling menyeberang. Letak geografis tidak lagi menentukan pilihan lidah. Batasan lama itu pelan-pelan kehilangan relevansi.

Ada anggapan lain yang sering muncul. Bahwa umbi pendatang "menggusur" umbi lokal seperti talas atau gadung.

Kata menggusur terdengar keras. Mungkin "tergantikan" lebih pas untuk menggambarkan posisi di panggung utama.

Kenyataannya, umbi lokal tidak hilang. Talas Bogor masih jadi komoditas dan ikon kuliner daerah (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bogor). Mereka hanya bergeser takhta.

Bukan lagi makanan pokok utama, tetapi tetap hadir di pasar yang lebih spesifik, dengan penggemar setia yang tidak sedikit.

Lihat juga perjalanan singkong. Dulu melekat dengan citra kemiskinan dan keterbatasan, jadi penyelamat ketika beras tak terbeli.

Sekarang, statusnya naik kelas. Muncul aneka produk turunan, seperti tepung mocaf yang sehat dan bebas gluten, alternatif terigu yang banyak dipilih (Indonesia Baik).

Produk ini masuk dalam ekonomi kreatif dan didorong ke pasar dunia (Kemenparekraf). Ada pula olahan modern lain, dari keripik singkong premium sampai singkong keju.

Semua ini menegaskan nasib baru singkong. Ia bukan lagi sekadar pangan murah.

Perdebatan umbi pendatang melawan umbi lokal sebaiknya dilihat dengan kepala dingin. Ini bukan cerita saling singkir, melainkan pengayaan budaya.

Kedatangan ubi jalar dan singkong memperluas pilihan pangan. Dampaknya besar untuk ketahanan pangan nasional.

Saat panen satu tanaman gagal, masih ada penyangga lain. Ladang yang beragam membuat sistem pangan lebih tangguh dan lebih siap menghadapi krisis.

Kalau ditarik lebih jauh, kisah tiga umbi ini adalah cermin globalisasi pangan yang sudah berjalan lama.

Pertukaran bahan masak antarbenua memang bagian dari sejarah. Bukan hanya umbi yang datang dari jauh. Banyak bumbu dan sayur harian kita juga pendatang.

Cabai dan tomat, misalnya, berasal dari Amerika dan baru hadir di sini beberapa abad lalu (Bobo Grid, 2017). Makanan akan terus bergerak, menyesuaikan diri dengan lidah lokal, lalu menjadi bagian dari budaya baru.

Cerita tentang ubi, singkong, dan kentang belum selesai. Piring kita akan menulis babak-babak berikutnya seiring waktu.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun