Ada anggapan lain yang sering muncul. Bahwa umbi pendatang "menggusur" umbi lokal seperti talas atau gadung.
Kata menggusur terdengar keras. Mungkin "tergantikan" lebih pas untuk menggambarkan posisi di panggung utama.
Kenyataannya, umbi lokal tidak hilang. Talas Bogor masih jadi komoditas dan ikon kuliner daerah (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bogor). Mereka hanya bergeser takhta.
Bukan lagi makanan pokok utama, tetapi tetap hadir di pasar yang lebih spesifik, dengan penggemar setia yang tidak sedikit.
Lihat juga perjalanan singkong. Dulu melekat dengan citra kemiskinan dan keterbatasan, jadi penyelamat ketika beras tak terbeli.
Sekarang, statusnya naik kelas. Muncul aneka produk turunan, seperti tepung mocaf yang sehat dan bebas gluten, alternatif terigu yang banyak dipilih (Indonesia Baik).
Produk ini masuk dalam ekonomi kreatif dan didorong ke pasar dunia (Kemenparekraf). Ada pula olahan modern lain, dari keripik singkong premium sampai singkong keju.
Semua ini menegaskan nasib baru singkong. Ia bukan lagi sekadar pangan murah.
Perdebatan umbi pendatang melawan umbi lokal sebaiknya dilihat dengan kepala dingin. Ini bukan cerita saling singkir, melainkan pengayaan budaya.
Kedatangan ubi jalar dan singkong memperluas pilihan pangan. Dampaknya besar untuk ketahanan pangan nasional.
Saat panen satu tanaman gagal, masih ada penyangga lain. Ladang yang beragam membuat sistem pangan lebih tangguh dan lebih siap menghadapi krisis.