Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Bekal Sekolah Bukan Sekedar Kenangan Manis Saja

23 September 2025   21:00 Diperbarui: 18 September 2025   22:15 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kotak makan plastik atau wadah bekal.(SHUTTERSTOCK/Kenishirotie via Kompas.com)

Bekal sering dipandang sebagai bentuk cinta yang sederhana dan tulus. Pagi-pagi, ada kotak kecil yang disiapkan dengan terburu-buru namun penuh niat.

Isinya nasi, lauk rumahan, mungkin sedikit sayur. Orang tua meracik semuanya dengan harapan anaknya makan lahap di sekolah.

Lebih dari sekadar kenyang, bekal itu seolah jadi investasi kenangan. Kelak saat dewasa, anak akan mengingat rasa masakan rumah, mencium kembali aroma dapur, dan merasa dekat.

Ikatan semacam itu rasanya sulit pudar, apalagi kalau hadir lewat kebiasaan harian.

Tapi apakah kenyataannya selalu semanis itu? Tidak selalu.

Di balik kisah romantis, ada sisi yang jarang dibicarakan. Pagi hari di keluarga modern sering kali riuh dan mepet waktu.

Orang tua harus menata diri, mengurus anak, sekaligus bersiap berangkat kerja. Dalam situasi seperti itu, menyiapkan bekal bisa terasa sebagai beban yang nyata.

Malah bisa cukup berat. Istilahnya bahkan sudah dikenal luas: lunch-packing stress, atau stres menyiapkan bekal (HuffPost, 2016).

Bukan sekadar ungkapan cinta, melainkan tugas yang melelahkan. Dorongan media sosial untuk membuat bekal terlihat cantik sering memperparah tekanan.

Apalagi kalau kondisi ekonomi sedang ketat. Membuat bekal yang menarik dan bergizi jadi jauh dari mudah.

Kita juga kerap lupa menanyakan hal paling dasar pada anak. Mereka benar-benar suka bekalnya atau tidak?

Seringnya kita mengira mereka pasti senang. Padahal dunia anak punya aturan sosialnya sendiri, dan itu rumit.

Jam makan siang adalah momen penting untuk belajar keterampilan sosial (Psychology Today, 2019). Mereka ingin diterima.

Bekal yang terlihat "beda" bisa bikin malu. Bahkan membuat mereka merasa tersisih. Tidak heran kalau ada anak yang memilih jajan di kantin.

Bukan berarti tidak menghargai masakan ibunya. Bagi mereka, momen jajan adalah kesempatan untuk gabung, tertawa, dan mempererat pertemanan.

Ada pula soal peran gender yang masih kental. Menyiapkan bekal seolah otomatis tugas ibu. Dapur dianggap wilayah perempuan.

Nyatanya, di banyak keluarga modern, pekerjaan rumah dibagi lebih adil. Ayah yang cekatan di dapur sudah biasa, bukan pemandangan langka.

Terus-menerus menyorot sosok ibu justru menguatkan pandangan lama yang makin tidak cocok dengan dinamika keluarga saat ini.

Dari sisi lain yang lebih serius, bekal sekolah juga bisa memantulkan status sosial.

Isi yang beragam dan "wah" butuh biaya dan waktu. Di sinilah kesenjangan muncul.

Anak-anak bisa saja membandingkan isi bekal satu sama lain. Fenomena ini dikenal sebagai lunch shaming. Perundungan terkait bekal benar-benar ada (The New York Times, 2019).

Anak bisa diejek karena bekalnya sederhana. Niat baik orang tua pun berisiko berbalik, menumbuhkan rasa minder pada anak.

Yang paling penting adalah komunikasi terbuka. Lebih penting daripada komposisi bekal itu sendiri.

Ada cerita populer tentang ibu yang "berbicara" pada anak lewat bekal. Mengharukan, ya. Tapi bisa juga menjadi tanda persoalan komunikasi yang lebih dalam.

Makanan sebaiknya mendampingi obrolan hangat, bukan menggantikan pertemuan tatap muka (Verywell Family, 2023).

Melihat bekal sebagai tabungan kenangan tentu tidak salah. Hanya saja, kita perlu memandangnya lebih utuh dan seimbang.

Bekal rumahan itu istimewa, tetapi tidak semua keluarga punya kemewahan waktu dan sumber daya.

Kesempurnaan isi kotak makan mungkin bukan inti persoalan. Kualitas waktu bersama justru jauh lebih berharga. Misalnya makan malam sambil berbagi cerita.

Dari sana, kenangan yang membekas di hati anak tumbuh pelan-pelan, dan bertahan lama.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun