Seringnya kita mengira mereka pasti senang. Padahal dunia anak punya aturan sosialnya sendiri, dan itu rumit.
Jam makan siang adalah momen penting untuk belajar keterampilan sosial (Psychology Today, 2019). Mereka ingin diterima.
Bekal yang terlihat "beda" bisa bikin malu. Bahkan membuat mereka merasa tersisih. Tidak heran kalau ada anak yang memilih jajan di kantin.
Bukan berarti tidak menghargai masakan ibunya. Bagi mereka, momen jajan adalah kesempatan untuk gabung, tertawa, dan mempererat pertemanan.
Ada pula soal peran gender yang masih kental. Menyiapkan bekal seolah otomatis tugas ibu. Dapur dianggap wilayah perempuan.
Nyatanya, di banyak keluarga modern, pekerjaan rumah dibagi lebih adil. Ayah yang cekatan di dapur sudah biasa, bukan pemandangan langka.
Terus-menerus menyorot sosok ibu justru menguatkan pandangan lama yang makin tidak cocok dengan dinamika keluarga saat ini.
Dari sisi lain yang lebih serius, bekal sekolah juga bisa memantulkan status sosial.
Isi yang beragam dan "wah" butuh biaya dan waktu. Di sinilah kesenjangan muncul.
Anak-anak bisa saja membandingkan isi bekal satu sama lain. Fenomena ini dikenal sebagai lunch shaming. Perundungan terkait bekal benar-benar ada (The New York Times, 2019).
Anak bisa diejek karena bekalnya sederhana. Niat baik orang tua pun berisiko berbalik, menumbuhkan rasa minder pada anak.