Tetapi menutup mata terhadap argumen pembangunan juga tidak adil. Jalan layang menjawab masalah yang benar-benar dirasakan warga.
Waktu habis di jalan. Bahan bakar terbuang. Efisiensi ekonomi kota ikut turun. Manfaat infrastruktur baru terasa mendesak dan, jujur saja, lebih konkret di mata banyak orang.
Haruskah kelancaran hidup dikorbankan demi beberapa meter fasad, apalagi ketika fungsi bangunannya sudah bergeser?
Selama ini, konflik seperti ini sering dibingkai sebagai pertarungan satu kalah satu menang antara pelestarian dan pembangunan.
Padahal bisa jadi ada jalan tengah. Konsep pelestarian adaptif memberi perspektif lain. Banyak kota maju mempraktikkannya.
Bangunan lama tidak wajib dipertahankan 100 persen secara kaku. Bagian yang paling bermakna dapat diselamatkan.
Lalu diintegrasikan dengan rancangan baru. Bukan lagi rebutan ruang, melainkan proyek kolaborasi desain.
Bayangkan jalan layang modern yang tidak menggusur, melainkan "membingkai" cagar budaya.
Arsitektur kontemporer justru menonjolkan keindahan yang lama, menciptakan lanskap kota yang khas. Pendekatan seperti ini mengubah ancaman menjadi peluang kreatif.
Nilai cagar budaya tidak hanya tinggal di dinding dan kolomnya. Ia juga hidup di ceritanya.
Fungsi RPH Andir di masa lalu menyimpan kisah tentang perubahan sosial ekonomi dan standar kebersihan halal.