Saat itu Mataram sedang menanjak. Di sisi lain, ada tekanan dari Banten dan Cirebon yang juga punya agenda masing-masing (Kompas.com, 2021).
Dalam situasi begitu, bergabung di bawah panji Mataram menjadi opsi untuk mengamankan wilayah dari para pesaing. Jadi ini bukan sekadar tunduk karena gentar.
Ini langkah strategis. Mereka bukan korban pasif. Mereka pemain yang paham cara beradaptasi untuk bertahan.
Bahasa pun berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Di sinilah undak-usuk basa menjadi relevan.
Sistem tutur bahasa Sunda ditata lebih ketat. Ada ragam halus untuk mereka yang harus dihormati, ada ragam kasar untuk lawan bicara sepadan.
Penguatan sistem ini terjadi pada masa Mataram. Hegemoni Mataram membuat bahasa menjadi cermin tatanan sosial (SINDONEWS.com, 2022).
Pejabat dan bangsawan dituntut patuh pada standar bahasa keraton. Praktik ini menegaskan siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Bentuk dominasi budayanya terasa halus, meresap dalam percakapan sehari-hari, lalu bertahan ratusan tahun.
Kasus Dipati Ukur juga menarik. Versi resmi Mataram menempatkannya sebagai pemberontak besar yang akhirnya dihukum mati.
Narasi itu efektif sebagai peringatan bagi para penguasa Sunda lain agar tidak menantang Mataram. Namun cerita tidak tunggal. Dalam ingatan masyarakat Sunda. Ada versi berbeda. Dipati Ukur dipandang sebagai pahlawan yang dikhianati (AyoBandung.com).
Ia mungkin terseret intrik politik. Kegagalan di Batavia belum tentu kesalahannya, bisa jadi akibat miskoordinasi pasukan. Toh sejarah sering ditulis oleh pemenang.
Melabelinya sebagai pemberontak adalah cara mudah untuk menegaskan kuasa Mataram, sekaligus menutupi kekeliruan strategi di pihak mereka.