Ia menjadi penggerak ekonomi bagi komunitasnya. Ia membuat sebuah acara festival pengajian. Acara itu bukan hanya ruang untuk spiritual. Acara itu juga menjadi sebuah pasar kreatif.
Pasar itu untuk para pelaku UMKM. Gambaran seperti ini terasa jauh lebih segar. Gambaran ini juga terasa sangat relevan. Karena mencerminkan realitas sosial-ekonomi anak muda.
Namun, apakah latar modern ini cukup? Apakah ia bisa mendobrak keseluruhan formula lama? Di sinilah letak tantangan utamanya. Konflik utama film rekaan kita ini.
Konflik itu bisa saja memakai resep lama. Resep lama yang terbukti disukai oleh penonton. Kisahnya tentang cinta segitiga dan perjodohan.
Ini adalah formula melodrama yang sangat umum. Jadi, bungkusnya mungkin terasa baru juga kekinian. Namun isinya masih terasa sangat akrab.
Kemampuan memadukan yang kekinian dengan klise. Hal itu bisa menjadi kunci sukses komersial. Film ini mungkin tidak merevolusi sebuah genre. Tapi ia berhasil melakukan modernisasi yang signifikan.
Hal menarik lainnya dari film hipotetis ini. Yaitu bagaimana ia bisa merepresentasikan tokoh perempuan. Ada sutradara perempuan di belakang layar.
Narasi tentang perempuan mandiri terasa lebih otentik. Ia menjadi perempuan berdaya dan seorang inisiator. Ia bukan hanya objek dalam sebuah cerita cinta. Ia adalah subjek yang aktif menggerakkan plot.
Ini adalah sebuah kemajuan penting sekali. Kemajuan penting dalam hal representasi karakter. Penggambaran relasi romantisnya bisa dieksplorasi. Penggambarannya bisa dibuat dengan lebih subtil. Tidak harus bergantung pada adegan kontak fisik.
Cukup mengandalkan kekuatan dialog dan tatapan mata. Tatapan mata yang sarat dengan berbagai makna.
Pada akhirnya, kita bisa melihat satu hal. Ini melalui angan-angan tentang film tadi. Genre religi modern ada di persimpangan jalan. Persimpangan jalan ini sangatlah menarik.