Yang paling nyesek? Di zona III (Maluku dan Papua), harga beras medium bisa menyentuh angka Rp 30.000 – Rp 50.000 per kilo. Itu dua hingga tiga kali lipat dari HET yang ditetapkan. Kebayang nggak beban masyarakat di sana?
Padahal, stok aman. Bahkan kalau mau jujur, lebih dari cukup.
Nah, di sinilah pertanyaannya muncul:
Kenapa harga beras tetap mahal meskipun stoknya berlimpah?
Jawabannya kompleks, tapi ada satu hal yang pasti. Stok nasional belum nyampe ke masyarakat dengan lancar.
Bisa jadi masalahnya di distribusi. Bisa juga karena rantai pasok yang panjang dan biaya logistik yang tinggi. Apalagi buat daerah-daerah pelosok.
Atau mungkin, masih ada mekanisme pasar yang belum terkendali. Sehingga harga tetap “ngeyel” tinggi walau stok gudang melimpah.
Melihat harga beras yang tetap tinggi, pemerintah nggak tinggal diam. Mereka coba berbagai cara buat “ngebanjirin” pasar dengan beras murah. Salah satunya lewat program Gerakan Pangan Murah, yang digelar di banyak kota dan kabupaten.
Distribusinya lewat Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, pasar tradisional, sampai gerai-gerai pelaku usaha lokal. Tapi sayangnya, realisasinya masih kecil banget.
Sampai 11 Agustus 2025, beras yang terserap baru 16.742 ton. Atau cuma 1,27 persen dari total target 1,3 juta ton yang direncanakan.
Buat program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sepanjang Juli–Desember 2025. Bayangin, baru satu persen lewat dari tengah jalan tahun.