Penyerbuan pasukan Mataram ke Batavia pada 1628--1629 sering dikenang dengan cerita yang unik sekaligus menjijikkan.Â
Dikenang dengan cerita yang unik sekaligus menjijikkan. Narasi populer menyebutkan bahwa tentara VOC, yang hampir kehabisan amunisi, melemparkan kotoran manusia kepada prajurit Mataram.Â
Sehingga membuat barisan musuh kocar-kacir. Kisah inilah yang kemudian melahirkan julukan satir "Kota Tahi" bagi Batavia. Namun, sejauh mana kebenaran cerita ini dapat dipertanggungjawabkan masih menjadi perdebatan sejarah (VOI, 2021).
Sultan Agung dari Mataram mengirim ribuan prajurit ke Batavia untuk menaklukkan pusat dagang VOC. Ambisi ini sangat besar, sebab menguasai Batavia berarti menguasai jalur perdagangan vital di Jawa.Â
Serangan pertama pada 1628 berlangsung sengit, tetapi pasukan Mataram menghadapi kendala berat. Perjalanan jauh dari Jawa Tengah membuat prajurit kelelahan.Â
Logistik terbatas juga melemahkan daya tempur mereka. Bubuk mesiu yang menipis menambah tekanan.Â
Menurut laporan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, pertahanan benteng tetap kuat. Meski jumlah serdadu Belanda hanya puluhan orang (Wikipedia, 2025).
Serangan kedua pada 1629 juga berakhir gagal. Pasukan Mataram menderita akibat penyakit tropis seperti malaria dan kolera. Jalur suplai makanan terganggu. Kelelahan dan kerugian besar membuat mereka mundur.Â
Historiografi modern menekankan faktor-faktor ini sebagai penyebab utama kekalahan. Bukan sekadar "amunisi biologis" yang aneh (VOI, 2021).
Kisah pelemparan tinja muncul dalam catatan beberapa penulis VOC. Kemudian diperkuat dalam literatur populer, seperti tulisan Johannes Nieuhof.Â
Narasi ini kemudian masuk ke dalam babad Jawa. Termasuk Babad Tanah Jawi, dengan nada simbolis dan satir. Dari sana, legenda tersebut diteruskan hingga menjadi cerita rakyat. Cerita itu menyertai memori kekalahan Mataram (National Geographic, 2017).