Banyak orang mengenal bupati zaman kolonial. Mereka dianggap sebagai penguasa yang absolut.Â
Mereka sering digambarkan suka berfoya-foya. Mereka juga suka menumpuk semua kekayaan. Kehidupan mewah para bangsawan kontras. Kehidupan itu kontras dengan derita rakyat.Â
Gambaran seperti ini tidak sepenuhnya salah. Namun sejarah mencatat ada sosok berbeda. Sosok itu memilih sebuah jalan lain.Â
Salah satunya adalah Raden Adipati Kusumahningrat. Ia memimpin wilayah Kabupaten Cianjur. Ia menjabat dari tahun 1834 hingga 1862. (Universitas STEKOM).
Kusumahningrat lebih dikenal sebagai seniman intelektual. Ia bukan tipe birokrat yang kaku. Ia juga tidak menjaga jarak dengan rakyat.Â
Namanya harum sebagai seorang pujangga terkenal. Ia juga penggagas genre musik khas. Ia akrab dengan sebutan Dalem Pancaniti. (Tirto.id, 2025).Â
Citra unik ini membuatnya tampak istimewa. Seolah hanya dia bangsawan baik hati. Ia berada di tengah para elite korup. Tentu pandangan ini perlu dikaji lagi.Â
Pandangan hitam-putih ini butuh kajian mendalam. Sejarah nyatanya tidak sesederhana itu. Mungkin ada bupati lain yang berjasa. Namun kisah mereka tidak begitu populer. Kisahnya tak secemerlang nama besar Kusumahningrat.
Di balik citranya sebagai seniman halus, ada sisi lain yang sangat menarik. Kusumahningrat bukan orang yang lari. Ia tidak lari dari dunia politik. Ia adalah seorang yang sangat cerdas. Ia cerdas secara strategi dan politik.Â
Beberapa karya sastranya ditulis sengaja. Ditulis untuk sebuah tujuan politis.Â
Misalnya hikayat tentang silsilah bupati. Karya itu menegaskan garis keturunannya. Garis keturunan sebagai penguasa Priangan sah. Ini menunjukkan seni adalah alat kekuasaan.Â