Semakin banyak orang sadar privasi digital. Di era ini data pribadi rentan. Sehingga banyak orang mencari perlindungan tambahan.Â
VPN menjadi salah satu solusi populer. Layanannya pun kini mulai menjamur. Ada layanan gratis hingga yang berbayar. Ini akhirnya menciptakan sebuah dilema besar. Mana yang sebaiknya harus dipilih?
Layanan gratis seringkali terasa sangat menggiurkan. Siapa tidak suka sesuatu yang cuma-cuma?Â
Namun ada risiko besar yang tersembunyi. Mengelola layanan VPN butuh biaya tinggi. Biaya untuk server dan infrastruktur penting. Tenaga ahli juga memerlukan biaya besar. Jika pengguna tidak membayar biayanya. Dari mana uang tersebut akan datang?
Banyak penyedia VPN gratis memonetisasi pengguna. Caranya seringkali sangat merugikan bagi pengguna. Ini adalah model bisnis yang umum (Gizmologi).Â
Mereka mengumpulkan semua data pribadi pengguna. Lalu menjualnya kepada pihak ketiga pengiklan. Ini cara umum mencari keuntungan (Tirto.id, 2022).Â
Beberapa penyedia bahkan menyisipkan banyak iklan. Iklan masuk ke lalu lintas web pengguna. Mereka juga menanam skrip pelacakan (SafetyDetectives).
Sebuah studi penting dilakukan oleh CSIRO. CSIRO menganalisis ratusan aplikasi VPN gratis. Aplikasi itu ada di Android (ICSI Berkeley, 2017).Â
Hasilnya menemukan fakta yang sangat mengejutkan. Sekitar 38% aplikasi itu mengandung malware (CSIRO, 2016).Â
Studi lain menunjukkan adanya kebocoran data. Kebocoran data tersebut sangatlah signifikan. Sebanyak 84% mengalami kebocoran data IPv6. Lalu 66% mengalami kebocoran data DNS. Ini membuat data pengguna tidak aman (CNN Indonesia, 2020).
Beberapa penyedia VPN gratis melakukan praktik aneh. Mereka sering menggunakan model peer-to-peer (P2P). Artinya lalu lintas internet pengguna dirutekan. Lalu lintas melewati perangkat pengguna lainnya.Â