Di tengah tuntutan akademis yang ketat, seringkali nilai terpenting justru tidak tertulis di lembar ujian. Kisah berikut adalah potret dari sebuah kelas yang menemukan pelajaran paling berharga justru dari sebuah kegagalan.
Pak Damar menatap kelasnya. Riuh. Tapi ini bukan riuh diskusi. Ini riuh perpecahan. Tugas kelompok itu gagal total. Padahal tujuannya sederhana. Proyek sosial kecil. Demi nilai Profil Pelajar Pancasila.
Pandangannya jatuh pada satu meja. Ezra, si pintar, bekerja sendirian. Kertasnya hampir penuh tulisan. Di sebelahnya, Nadia hanya menunduk pasrah. Dua anak lain saling berbisik tajam. "Ini semua salahmu," desis satu suara.
Pak Damar menghela napas pelan. Dia teringat rapor Ezra. Angka akademisnya sempurna. Tapi kolom nilai sosialnya? Kosong. Ini masalah yang lebih besar. Bukan sekadar tugas yang gagal.
Waktu habis. Kelompok Ezra berjalan ke depan. Wajah mereka masam, siap menerima vonis. Kelas mendadak hening. Hanya terdengar derit kipas angin tua.
Pak Damar menatap mereka satu per satu. Tenang. "Kita tidak akan membahas hasil proyek kalian hari ini."
---
Keputusan Pak Damar mungkin terasa ganjil. Namun tindakannya berakar pada pergeseran mendasar dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan nilai bukan lagi sekadar teori usang di dalam buku teks.
Dalam kerangka Kurikulum Merdeka. Pendidikan nilai jadi jantung dari proses belajar. Diwujudkan melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau P5 (Kemendikbud, 2024).
Tujuannya jelas. Untuk membentuk pelajar yang tidak hanya unggul secara akademis. Tapi juga utuh secara karakter.
Profil ini memiliki enam dimensi kunci. Di antaranya adalah kemampuan bergotong royong dan bernalar kritis (Pusatinformasi.kolaborasi.kemendikdasmen.go.id, 2024).
Gotong royong berarti kemampuan berkolaborasi. Peduli, dan berbagi. Sementara bernalar kritis adalah kemampuan memproses informasi. Merefleksikan pemikiran. Serta mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
Tantangan terbesarnya adalah pergeseran peran guru. Guru tak lagi hanya mentransfer pengetahuan. Tapi harus jadi fasilitator yang memandu siswa. Dalam menemukan nilai-nilai tersebut melalui pengalaman nyata (Didaktika: Jurnal Kependidikan, 2023).
Pembelajaran yang awalnya berfokus pada hasil akhir (nilai ujian). Kini harus menekankan pada proses (pengalaman belajar).
Ini berarti menilai bagaimana siswa berinteraksi. Mengatasi konflik. Serta merefleksikan kegagalan. Menjadi sama pentingnya dengan menilai jawaban benar di selembar kertas.
Pendidikan nilai yang efektif terjadi bukan saat siswa menghafal definisi. Melainkan saat mereka belajar dari kesalahan dalam proses menjadi manusia yang lebih baik.
Dalam pendekatan ini, ruang kelas jadi laboratorium karakter. Tempat kegagalan. Dimana dalam tugas kelompok, bisa jadi pelajaran paling berharga.
---
Teori ini terdengar ideal di atas kertas. Namun, bagaimana wujudnya di dalam kelas yang ramai? Mari kita kembali pada Pak Damar.
Pak Damar tidak menghakimi. Tidak menyalahkan. Dia hanya menarik satu kursi. Duduk di antara mereka.
"Bukan tentang hasilnya," katanya pelan. Suaranya memecah keheningan. "Ceritakan saja. Bagian mana yang sulit?"
Hening sesaat. Lalu Ezra bicara. Suaranya pelan. "Saya sulit percaya teman, Pak." Pengakuan itu mengejutkan.
Di sampingnya, Nadia menyambung. "Saya takut salah mencoba." Yang lain mengangguk. Mereka merasa tidak dilibatkan.
Suasana yang tadinya seperti sidang akademik. Berubah jadi sesi refleksi.
Pak Damar menatap mereka. Dia melihat bukan murid gagal. Dia melihat titik awal. "Kalian tidak gagal," katanya.
"Ini namanya belajar bertanggung jawab. Belajar peduli. Besok, kita coba lagi. Bukan untuk cari nilai. Tapi untuk belajar bekerja dalam kelompok."
Ilustrasi Pak Damar dan murid-muridnya bukan cerita tentang kegagalan. Ini adalah cerminan dari kebenaran pendidikan yang sering terlupa.
Momen-momen paling berantakan. Seperti debat sengit. Proyek kelas yang hancur. Atau pengakuan yang jujur. Bukanlah masalah yang harus segera diperbaiki. Tapi jadi laboratorium karakter yang sejati.
Perlu ada perubahan cara pandang. Dengan berani melihat tiap kesalahan dan konflik. Bukan sebagai rapor merah. Melainkan kurikulum tersembunyi yang berharga.
Dengan begitu, kita tak hanya mencetak para pemegang nilai sempurna. Tapi juga menempa generasi tangguh. Yang siap menghadapi kompleksitas kehidupan nyata.
Sebab tugas terbesar kita bukanlah membentuk murid tanpa cela. Melainkan manusia yang berani bertumbuh. Dengan belajar dari kegagalan.
***
Referensi:
- Kartika, Y., & Puspita, P. (2024). Implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar; tantangan dan solusi. DIDAKTIK: Jurnal Ilmiah Pendidikan Sekolah Dasar, 14(1), 100–111. https://journal.stkipsubang.ac.id/index.php/didaktik/article/view/4514
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Kurikulum Merdeka. https://kurikulum.kemdikbud.go.id/
- Pusat Informasi Kemendikdasmen. (2024). Profil Pelajar Pancasila. https://pusatinformasi.kolaborasi.kemendikdasmen.go.id/hc/id/articles/4942840129305-Profil-Pelajar-Pancasila
- Wahyuni, I., Arsyad, M., & Halik, a. (2023). Peran penting guru dalam penerapan projek penguatan profil pelajar pancasila di sekolah dasar. Didaktika: Jurnal Kependidikan, 12(1), 119–130. https://jurnaldidaktika.org/contents/article/view/604
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI