Hening sesaat. Lalu Ezra bicara. Suaranya pelan. "Saya sulit percaya teman, Pak." Pengakuan itu mengejutkan.
Di sampingnya, Nadia menyambung. "Saya takut salah mencoba." Yang lain mengangguk. Mereka merasa tidak dilibatkan.
Suasana yang tadinya seperti sidang akademik. Berubah jadi sesi refleksi.
Pak Damar menatap mereka. Dia melihat bukan murid gagal. Dia melihat titik awal. "Kalian tidak gagal," katanya.
"Ini namanya belajar bertanggung jawab. Belajar peduli. Besok, kita coba lagi. Bukan untuk cari nilai. Tapi untuk belajar bekerja dalam kelompok."
Ilustrasi Pak Damar dan murid-muridnya bukan cerita tentang kegagalan. Ini adalah cerminan dari kebenaran pendidikan yang sering terlupa.
Momen-momen paling berantakan. Seperti debat sengit. Proyek kelas yang hancur. Atau pengakuan yang jujur. Bukanlah masalah yang harus segera diperbaiki. Tapi jadi laboratorium karakter yang sejati.
Perlu ada perubahan cara pandang. Dengan berani melihat tiap kesalahan dan konflik. Bukan sebagai rapor merah. Melainkan kurikulum tersembunyi yang berharga.
Dengan begitu, kita tak hanya mencetak para pemegang nilai sempurna. Tapi juga menempa generasi tangguh. Yang siap menghadapi kompleksitas kehidupan nyata.
Sebab tugas terbesar kita bukanlah membentuk murid tanpa cela. Melainkan manusia yang berani bertumbuh. Dengan belajar dari kegagalan.
***