Bagi banyak anak muda, pertanyaan soal Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sering terasa seperti teka-teki tanpa solusi. Perasaan ini mungkin terasa lebih menusuk. Bagi mereka yang tiap hari justru bertugas menyajikan solusi bagi orang lain.
Pukul delapan malam. Hanya dengung pendingin ruangan dan ritme ketukan jari yang mengisi kantor media yang lengang. Haris baru saja menekan tombol ‘Publish’ pada artikel “Kiat Jitu Milenial Beli Rumah Sebelum Usia 30”.
Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Merasakan sebuah kejanggalan yang dingin. Kata-kata yang ia tulis untuk ribuan pembaca terasa hampa. Seperti kebohongan.
Pandangannya beralih ke layar kanan. Ke tab simulasi KPR yang terbuka. Sebuah apartemen dekat jalur KRL. Solusi mobilitas yang logis.
Namun, deretan angka cicilan berwarna merah itu bikin teori ‘30% dari pendapatan’ yang sering ia tulis terasa seperti bualan. Judul untuk hidupku: Penulis Konten Gagal Mengelola Konten Hidupnya. Pikirnya getir. Pain point jelas, tapi solusinya kosong.
Dengan satu gerakan cepat, Haris meminimalkan tab itu. Kini di hadapannya hanya ada laman dokumen kosong. Dengan kursor yang berkedip-kedip. Seolah mengejek.
Setiap hari aku menulis ‘5 Cara Mudah…’ atau ‘7 Langkah Praktis…’. Kenapa untuk urusanku sendiri, tidak ada satu pun langkah yang terasa praktis?
---
Pertanyaan Haris menggema di benak banyak pekerja muda lain di Indonesia. Kebingungan itu bukan tanpa sebab. Di atas kertas. Data dan realitas lapangan memang menyajikan sebuah tantangan yang kompleks.
Dilema mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Di kalangan anak muda Indonesia semakin pelik. Isu utamanya adalah kenaikan harga rumah. Yang tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan. Diperparah tingginya biaya hidup di kota besar.