Kekalahan telak Timnas Indonesia dari Jepang di Osaka bukan hanya soal angka di papan skor. Di balik skor 6-0 yang memilukan, tersimpan sebuah pelajaran fundamental tentang esensi permainan sepak bola modern.
Patrick Kluivert berdiri termangu di tepi lapangan Panasonic Stadium Suita. Papan skor digital menyala terang di tengah kegelapan malam Osaka.Â
Menampilkan angka yang terasa mustahil. JPN 6 - 0 INA. Matanya beralih ke lapangan. Ia melihat para pemain dari liga-liga Eropa, namun mereka bermain tanpa daya.
Para pemain bertahannya terus-menerus. Mundur tiap kali gelombang biru Jepang menusuk tanpa henti. Tatapan bingung berpindah dari satu pemain ke pemain lainnya.Â
Kluivert melirik catatan di tangannya. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit. Angka-angka itu mengonfirmasi kekacauan visual di depannya.Â
Nol tembakan ke gawang. Nol sepak pojok. Ia melihat sebelas pemainnya yang begitu solid di atas kertas. Kini tampak terisolasi dan bergerak tanpa koneksi.
Di tengah riuh rendah stadion. Hanya satu pertanyaan yang berputar tanpa henti di kepalanya. Mengapa para pemain ini bergerak seperti sebelas orang asing di atas lapangan?
---
Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada jurang filosofi yang memisahkan kedua tim. Kekalahan telak tersebut bukan sekadar hasil buruk.Â
Melainkan cermin dari perbedaan fundamental. Jepang, meski menurunkan banyak pemain pelapis. Tetap mendominasi secara total. Karena mereka bermain sebagai sebuah sistem yang proaktif.Â