Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan telah menegaskan bahwa diversifikasi pangan adalah kunci menuju ketahanan nasional.Â
Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan menyebut bahwa Indonesia menargetkan capaian ini dalam waktu tiga tahun, memanfaatkan potensi lahan yang luas (Kemenkopangan.go.id, 2024).Â
Namun tantangannya tidak kecil. Mulai dari perubahan iklim, keterbatasan bibit unggul, hingga minimnya pelatihan teknis kepada petani.
Contoh keberhasilan diversifikasi dapat dilihat di Sumba Timur, di mana tanaman sorgum dikembangkan sebagai alternatif pangan. Hasilnya? Petani memperoleh hingga 5 ton per hektare, dengan pendapatan sekitar Rp 4 juta per bulan (Menpan.go.id, 2024).Â
Ini bukti nyata bahwa diversifikasi bukan sekadar teori, melainkan solusi nyata yang dapat direplikasi di berbagai wilayah, termasuk sentra gambir Sumbar.
Inovasi Teknologi dan Produk Dorong Nilai Tambah
Namun diversifikasi saja belum cukup. Kita juga butuh inovasi. Baik dalam proses produksi maupun dalam mengolah hasil panen.Â
Di sinilah relevansi Teori Pembangunan Ekonomi Endogen oleh Paul Romer menjadi jelas.Â
Romer menekankan bahwa pertumbuhan berkelanjutan bergantung pada inovasi dan akumulasi pengetahuan yang lahir dari dalam sistem itu sendiri, bukan hanya dari faktor eksternal.
Bayangkan jika gambir tidak hanya dijual dalam bentuk mentah, tetapi diolah menjadi produk bernilai tinggi seperti ekstrak katekin untuk kosmetik dan kesehatan, atau pewarna alami ramah lingkungan.Â
Nilai ekonominya akan jauh lebih tinggi, dan petani tak lagi semata-mata bergantung pada harga ekspor bahan mentah.
Di sisi lain, pemanfaatan teknologi seperti AgroXAI, sistem berbasis kecerdasan buatan yang dapat merekomendasikan tanaman berdasarkan kondisi lokal, menjadi terobosan penting untuk membantu petani merencanakan diversifikasi dan meningkatkan produktivitas (Arxiv.org, 2024).Â