Harga gambir anjlok, petani terpukul. Inovasi dan diversifikasi berpotensi jadi penyelamat di tengah krisis.
Di perbukitan hijau Sumatera Barat, gambir telah lama menjadi denyut nadi kehidupan ribuan petani. Namun kini, denyut itu melemah.Â
Dalam hitungan pekan, harga gambir, komoditas ekspor andalan daerah ini, terjun bebas. Dari Rp 70.000 menjadi hanya Rp 25.000 per kilogram untuk kualitas biasa, dan dari Rp 70.000 menjadi Rp 50.000 untuk kualitas ekspor katekin 45--46 persen.Â
Bagi petani seperti Wike Aprilia di Nagari Maek dan Wirpentati di Talang Maur, ini bukan sekadar angka. Ini adalah realitas pahit, tentang panen yang tak sebanding dengan jerih payah.
Krisis ini menyibak kenyataan getir tentang ketergantungan petani pada satu komoditas dan pasar ekspor tunggal.Â
Ketika India dan Pakistan, dua negara utama tujuan ekspor gambir, terlibat konflik politik, imbasnya langsung menghantam kantong para petani.Â
Menurut Ferdinal Asmin, Sekretaris Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat, krisis ini juga semakin memburuk akibat persoalan dari dalam. Yaitu kualitas gambir yang belum seragam dan lemahnya tata kelola perdagangan (Kompas.id, 2025).
Sampai kapan kita membiarkan ketergantungan ini terus berlangsung tanpa perlindungan? Adakah jalan untuk membangun sistem pertanian yang tidak rapuh dan lebih berdaya tahan?
Diversifikasi Pertanian Perkuat Ketahanan Petani
Jawaban pertama datang dari strategi mendasar yang sering dilupakan, yakni diversifikasi pertanian. Ketika lahan pertanian hanya ditanami satu jenis tanaman, seperti gambir, maka ketahanan petani terhadap gejolak pasar menjadi sangat rapuh.Â
Sebaliknya, dengan menanam berbagai jenis tanaman, petani memiliki cadangan pendapatan ketika salah satu komoditas mengalami krisis.