EBHPC secara aktif merumuskan, menerbitkan, dan menyebarluaskan policy brief serta laporan riset kepada pemerintah dan masyarakat.Â
Contoh nyata peran akademisi dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan adalah penerapan Electronic Medical Record (EMR) di berbagai rumah sakit di Indonesia.Â
Implementasi EMR yang baik membutuhkan dukungan regulasi dan pelatihan yang memadai, sehingga tidak hanya meningkatkan efisiensi layanan medis.Â
Tapi juga meminimalisir kesalahan medis yang sering terjadi akibat buruknya pencatatan manual (arXiv, 2025).
Namun tanpa pelibatan akademisi secara maksimal, inisiatif berbasis teknologi seperti EMR hanya menjadi tumpukan proyek tanpa hasil nyata di lapangan.Â
Kebijakan yang tidak melibatkan pakar kesehatan dan akademisi sering kali mengabaikan konteks lokal dan kebutuhan spesifik masyarakat, sehingga kebijakan tersebut kurang tepat sasaran dan tidak berkelanjutan.
Mengatasi Tantangan Implementasi Kebijakan Berbasis Bukti
Mengapa sulit bagi pemerintah untuk mengadopsi kebijakan berbasis bukti?Â
Penelitian yang dilakukan oleh Hasnita dan Salomo (2025) mengungkap bahwa implementasi "Satu Data Indonesia" masih terhambat oleh ego sektoral, fragmentasi data, dan kurangnya kapasitas sumber daya manusia yang mumpuni di bidang teknologi dan analisis data (ResearchGate, 2025).
Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya siap memanfaatkan data ilmiah sebagai landasan pengambilan keputusan yang kritis.Â
Fragmentasi data di berbagai sektor kesehatan membuat proses perencanaan dan implementasi program kesehatan menjadi tidak efektif.Â
Dalam konteks global, negara-negara yang berhasil mengadopsi sistem kesehatan berbasis bukti seperti Inggris dengan National Institute for Health and Care Excellence (NICE), menunjukkan bahwa integrasi data kesehatan secara sistematis mampu meningkatkan akurasi intervensi medis dan efisiensi alokasi sumber daya.