Teknologi mengubah cara kita mencipta seni, menantang nilai keaslian dan otoritas dalam dunia seni digital.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi, cara kita berekspresi berubah. Tren hobi digital semakin digemari. Mulai dari fotografi smartphone hingga seni digital menggunakan aplikasi.
Kemudahan teknologi memunculkan pertanyaan besar. Apakah teknologi meruntuhkan tradisi seni? Bisakah karya seni digital setara dengan seni tradisional?
Tantangan terhadap Keaslian dan Otoritas Seni
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami interaksi seni tradisional dan digital. Seni sering dikaitkan dengan keaslian dan proses kreatif yang mendalam.
Namun, teknologi memungkinkan siapa saja menciptakan karya dalam hitungan menit. Apa arti “keaslian” dalam konteks ini?
Walter Benjamin membahas hal ini dalam The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1935). Benjamin mengatakan bahwa teknologi menghilangkan "aura" dari karya seni.
“Aura” mengacu pada keunikan karya seni asli yang tak dapat diulang. Karya seni digital yang dihasilkan lewat aplikasi desain atau smartphone bisa diproduksi tanpa batas, mengaburkan batasan antara yang asli dan tiruan.
Misalnya, foto yang diambil dengan smartphone dan dibagikan di Instagram tidak memiliki "aura" yang sama dengan foto bersejarah yang hanya ada satu salinan fisik.
Karya ini bisa disalin, didistribusikan, dan dimodifikasi. Hal ini menantang tradisi seni yang menganggap keaslian sebagai bagian integral dari nilai karya.
Benjamin bukan satu-satunya yang membahas ini. Theodor W. Adorno, seorang tokoh teori kritis, juga memberikan pandangannya.