Ini menunjukkan bagaimana dunia digital menciptakan pasar baru untuk kreativitas.
Namun, kita harus memikirkan.Â
Apa seni digital hanya menjadi komoditas dalam dunia yang makin materialistis ini?Â
Apa masih ada ruang untuk penghargaan terhadap proses kreatif yang original, atau hanya fokus pada hasil akhir yang dapat dijual dan diproduksi ulang?
Kesimpulan
Seni digital telah mengubah cara kita mencipta seni. Teknologi memberi kebebasan untuk berkreasi dan berbagi karya. Kemajuan ini juga menantang kita untuk melihat kembali makna keaslian dan otoritas seni.Â
Apakah seni digital setara dengan karya tradisional? Ataukah seni digital hanya produk komersial, tanpa nilai estetika paripurna?
Seni digital membuka peluang ekspresi diri dan ekonomi baru. Namun kita harus ingat nilai dasar seni, yaitu keaslian, kreativitas, dan proses mendalam.Â
Tantangan terbesar bukan soal sahnya sebuah seni digital. Tapi, bagaimana kita mempertahankan integritas seni dalam kapitalisme digital.
***
Referensi:
- Benjamin, W. (2008). The work of art in the age of mechanical reproduction (J. A. Underwood, Trans.). Penguin Books.
- Adorno, T. W., Tiedemann, R., & Adorno, G. (1997). Aesthetic theory. University of Minnesota Press.
- Hardiman, F. B. (2020). Aura dalam reproduksi digital: Membaca ulang Walter Benjamin. Jurnal Ledalero, 19(2), 115–126. https:  //ejurnal.iftkledalero.ac.id/index.php/JLe/article/view/210
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI