Di era digital, survei ungkap buku fisik dicinta. Mengapa sentuhan kertas tetap berharga bagi pembaca Indonesia?
Buku fisik adalah pintu ke dunia lain. Ada sensasi khusus ketika jari menyentuh kertas, mencium aroma tinta yang khas, dan membalik halaman demi halaman.Â
Kini semua itu mulai tergantikan. Di tahun 2025, kita hidup dalam dunia di mana membaca bisa dilakukan di mana saja. Lewat layar ponsel, tablet, atau cukup dengan mendengarkan suara narator di audiobook.
Di tengah segala kemudahan ini, muncul pertanyaan penting.Â
Apa yang sebenarnya kita pertaruhkan saat buku fisik mulai tersingkir? Apakah ini hanya tentang bentuk media, atau lebih dalam, tentang identitas budaya yang perlahan memudar?
Lebih dari Sekadar Bacaan, Buku Adalah Identitas
Banyak orang berpikir, selama isinya sama, membaca lewat e-book atau buku fisik tak ada bedanya. Tapi dalam kajian budaya, cara kita berinteraksi dengan sebuah buku memengaruhi cara kita memaknainya.Â
Buku cetak bukan hanya alat baca. Buku cetak adalah artefak budaya, simbol estetika, dan bahkan perpanjangan dari identitas pribadi.
Coba pikir, kenapa ada orang yang rela menghabiskan jutaan rupiah untuk edisi pertama novel favoritnya? Kenapa ada rak buku yang dirawat seperti altar pribadi?Â
Karena di sana ada nilai emosional, estetis, dan historis yang tak bisa digantikan oleh file PDF.
Data dari Asosiasi Penerbit Indonesia (API), yang dimuat dalam Blog.bukusaya.id (2025), menunjukkan bahwa penjualan buku cetak di Indonesia justru mengalami pertumbuhan stabil.Â