Mengungkap kegagalan program WBK dalam menciptakan integritas melalui analisis kepemimpinan transaksional.
Program Wilayah Bebas Korupsi (WBK) bertujuan memberantas korupsi. Program ini diharapkan mencapai puncaknya pada 2025. Namun, data KPK 2025 menunjukkan angka yang mengejutkan.Â
40% pelanggaran etika terjadi di zona WBK. Angka ini bertentangan dengan tujuan utama program ini. Ini menimbulkan pertanyaan besar.Â
Mengapa WBK justru banyak pelanggaran etika? Artikel ini akan menganalisis penyebabnya menggunakan teori kepemimpinan yang relevan.
Pelanggaran Etika Terjadi
Tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik bagi birokrasi Indonesia. Zona WBK dibentuk untuk menunjukkan birokrasi yang bersih dan transparan.Â
Namun, laporan KPK menunjukkan angka yang mengejutkan. 40% pelanggaran etika terjadi di wilayah yang sudah ditargetkan bebas korupsi.Â
Angka ini sangat mengejutkan. Pelanggaran tersebut terjadi di area yang seharusnya menjadi percontohan. Mengapa ini bisa terjadi?
Di balik kegagalan ini, ada satu faktor utama. Faktor tersebut adalah gaya kepemimpinan yang dominan di kementerian-kementerian.Â
Beberapa kementerian telah berusaha menerapkan prinsip Zona Integritas. Namun, masih ada kepemimpinan yang lebih mengutamakan aturan ketat dan hukuman.Â
Gaya kepemimpinan seperti ini sulit mendorong perubahan nyata. Pegawai tidak didorong untuk berkembang dan berubah.