Yang menarik, algoritma YouTube semakin memperbesar kemungkinan video yang banyak mendapat perhatian, baik positif atau negatif, untuk direkomendasikan lagi.Â
Ini menciptakan lingkaran setan, di mana video provokatif semakin banyak dilihat, memperburuk ketegangan antar kelompok.
Dislike ini bukan hanya soal Gibran sebagai pribadi. Angka dislike menunjukkan ketidakpercayaan terhadap narasi politik yang ada. Ini juga mencerminkan krisis kepercayaan yang terjadi di Indonesia.Â
Banyak orang lebih memilih menyuarakan ketidakpuasan di dunia digital daripada berdiskusi secara langsung. Dislike bukan hanya angka, tapi simbol ketidakpuasan terhadap pemerintah dan kondisi politik saat ini.
Polarisasi Digital Sebagai Realita
Media sosial berperan besar dalam memperburuk polarisasi ini.Â
Platform seperti YouTube, Facebook, dan Twitter menjadi medan pertarungan antar kelompok dengan pandangan berbeda. Setiap pendapat yang berbeda dianggap ancaman, bukan kesempatan berdialog.
Apakah ini jalan yang kita inginkan? Apakah kita ingin terjebak dalam ruang gema, di mana hanya pandangan kita yang didengar?Â
Jika kita tetap terperangkap dalam bubble digital, kita semakin terpisah dan sulit memahami pandangan lain. Ini adalah tantangan besar bagi masyarakat digital.
Kita harus berhati-hati dalam menyikapi fenomena ini. Jangan lihat ini hanya sebagai ketidaksukaan terhadap individu. Kita perlu berpikir apakah kita ingin terus terjebak dalam pola ini, ataukah membuka ruang untuk dialog yang lebih konstruktif.Â
Jika tidak, polarisasi digital ini hanya akan memperburuk keadaan, dan kita semua yang akan rugi.
Kesimpulan
Dislike terhadap video Gibran menunjukkan polarisasi digital yang semakin mengakar di Indonesia. Polarisasi ini bukan hanya soal politik, tetapi juga bagaimana media sosial memperburuk ketegangan antar kelompok.Â