Fenomena manipulasi agama dalam drama Bidaah mengajarkan pentingnya akal sehat dalam menjaga kebebasan berpikir.
Drama Malaysia Bidaah belakangan viral di aplikasi video on demand, VIU. Cerita ini punya karakter bernama Walid. Dia manipulatif banget.Â
Karakter ini bikin kita belajar. Bagaimana jika agama disalahgunakan. Fenomena Walid bukan hanya fiksi. Tapi gambaran nyata. Ada orang yang pakai agama untuk kontrol orang lain.
Bidaah dengan premis yang sederhana, akan mengajak kita mikir. Sejauh mana kita bisa tetap bebas berpikir dan memilih agama. Apalagi kalau ada iming-iming yang kelihatan menarik?
Kebebasan yang Terganggu
Dari fenomena yang digambarkan oleh karakter Walid dalam drama ini, kita bisa lihat betapa rapuhnya otonomi berpikir manusia. Terutama ketika dihadapkan pada dogma agama yang sangat kuat.Â
Otonomi berpikir adalah kemampuan manusia untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan berdasar penilaian dan refleksi pribadi, tanpa paksaan atau manipulasi dari luar.Â
Namun, sering kita terjebak dalam situasi. Di mana kita merasa harus mengikuti sesuatu yang tampaknya benar. Meski ada keraguan di hati.
Fenomena manipulasi yang ada dalam tokoh Walid, mengingatkan bahwa agama bisa jadi alat kekuasaan, jika tidak diawasi dengan hati-hati.Â
Laman Harakatuna, menyatakan bahwa manipulasi berkedok agama bukan hal yang asing. Banyak pelaku memanfaatkan atribut agama untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dengan cara-cara yang bisa dibilang licik.Â
Misalnya, menggunakan janji-janji surga. Atau pernikahan batin, sebagai umpan untuk mengendalikan korban.Â
Dalam situasi ini, korban merasa mereka berada dalam jalan yang benar. Walau sebenarnya telah kehilangan kebebasan berpikir mereka.
Agama yang Dipalsukan
Ada sebuah konsep dalam filsafat yang disebut simulacra, diperkenalkan oleh filsuf Jean Baudrillard, yang dapat membantu kita memahami bagaimana fenomena seperti Walid bisa terjadi.Â
Baudrillard menjelaskan bahwa dalam masyarakat post-modern, kita sering hidup dalam hiperrealitas. Sebuah situasi di mana kita sulit membedakan antara apa realitas sebenarnya dan apa realitas yang sengaja dibangun oleh pihak tertentu.Â
Dalam hal ini, agama bisa saja dipalsukan dalam bentuk yang meyakinkan. Sehingga orang-orang tidak lagi bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.
Bayangkan dalam cerita Bidaah, Walid mencitra dirinya sebagai sosok saleh dan berpengetahuan agama tinggi. Walid dengan atribut agama dan bahasa yang tampak sakral, bisa memanipulasi orang lain untuk mengikuti ajarannya.Â
Namun, apa yang dilakukan Walid sebenarnya konstruksi realitas, atau simulacra. Yang dirancang untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Kadang untuk mengendalikan orang lain demi keuntungan pribadinya.
Menurut Baudrillard, dalam sebuah dunia digital dan terbuka, kita sering terjebak hiperrealitas yang membuat kita percaya pada apa yang kita inginkan untuk percayai. Bukan pada fakta yang ada. Inilah yang membuat kita rentan pada manipulasi.Â
Terutama dalam hal agama. Kita jadi mudah percaya pada klaim-klaim yang menggiurkan. Seperti jaminan surga. Atau keselamatan dalam ajaran yang tidak jelas asal-usulnya.
Melawan Manipulasi dengan Akal Sehat
Tentu saja kita tak perlu terjebak dalam manipulasi ini. Salah satu cara untuk melawan manipulasi berkedok agama adalah dengan mengedepankan akal sehat.Â
Akal sehat di sini bukan hanya soal berpikir secara rasional. Tapi juga tentang kemampuan untuk mempertanyakan ajaran yang datang kepada kita.
Agus Mustofa, dalam buku Beragama Dengan Akal Sehat, menekankan pentingnya penggunaan nalar kritis dalam beragama. Tanpa akal sehat, kita dengan mudah jatuh ke dalam perangkap yang dibuat oleh pihak yang berniat buruk.Â
Beragama dengan akal sehat berarti kita tidak hanya menerima segala sesuatu begitu saja. Tapi juga mampu untuk menganalisis dan mengevaluasi ajaran itu.
Sebagai contoh, dalam situasi di mana seseorang mengklaim bahwa ia memiliki kekuatan untuk menyelamatkan seseorang melalui pernikahan batin, kita perlu bertanya. Apa ini benar sesuai dengan ajaran agama yang kita kenal? Apa ada dasar yang jelas dalam agama yang membenarkan klaim itu?Â
Mengedepankan akal sehat berarti kita tidak takut untuk bertanya dan mencari kebenaran. Bahkan jika itu berarti menantang otoritas agama yang kita hormati.
Akal sehat juga membantu untuk menjaga kebebasan berpikir.Â
Dalam masyarakat yang makin kompleks, kita sering terjebak dalam norma-norma yang ada.Â
Tapi penting untuk diingat bahwa tiap orang berhak untuk menentukan keyakinannya sendiri. Asal tidak merugikan orang lain.Â
Melawan manipulasi bukan berarti kita harus menentang agama. Tapi justru berarti kita harus memahami agama secara lebih mendalam. Dengan berpikir kritis dan terbuka.
Kesimpulan
Kita tentu ingin punya keyakinan yang kuat dan benar. Keyakinan yang bukan hasil dari manipulasi atau tekanan eksternal. Iman yang merdeka adalah iman yang tumbuh dari pemahaman yang mendalam. Bukan sekadar ikut arus.Â
Agar bisa sampai ke titik itu, kita harus mengasah akal sehat. Mendidik diri untuk berpikir kritis. Dan tidak takut untuk mempertanyakan apa yang kita terima.
Melalui pendidikan agama yang reflektif dan kritis, kita bisa mencegah terjadinya manipulasi yang merugikan. Akal sehat bukan hanya sekadar alat praktis. Tapi juga fondasi yang melindungi dari pengaruh negatif yang merusak kebebasan berpikir.Â
Dengan menjaga kebebasan berpikir, kita akan memiliki keyakinan yang tidak hanya kuat. Tapi juga merdeka dari segala bentuk eksploitasi.
***
Referensi:
- Tim Asosiasi Psikologi Islam. (2020). Psikologi Islam: Kajian teoritik dan penelitian empirik. Asosiasi Psikologi Islam & Arti Bumi Intaran. https: //pi. uin-antasari. ac. id/wp-content/uploads/2020/09/Psikologi-Islam-Kajian-Teoritik-dan-Penelitian-Empirik. pdf
- Chair, B. M., & Adzfar, Z. (2021). Kebenaran di era post-truth dan dampaknya bagi keilmuan akidah. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 9(2), 265–282. https: //doi. org/10. 21043/fikrah. v9i2. 12596
- Hidayah, S. N. (2022, 28 Maret). Depolitisasi agama; menyelamatkan Islam dari manipulasi kaum radikal-teroris. Harakatuna. https: //www. harakatuna. com/depolitisasi-agama-menyelamatkan-islam-dari-manipulasi-kaum-radikal-teroris. html
- Fauzi, M. N. (2022, 26 Mei). Manipulasi agama berbasis simulacra. Radar Banyuwangi. https: //radarbanyuwangi. jawapos. com/kolom/75910231/manipulasi-agama-berbasis-simulacra
- Susilo, B. D. S. (2024). Kebebasan beragama dalam konstitusi dan perspektif hak asasi manusia. Belom Bahadat: Jurnal Hukum Agama Hindu, 14(2), 87–105. https: //doi. org/10. 33363/bb. v14i2. 1324
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI