Kampanye kesehatan mental pemerintah kontras dengan kenyataan pahit. Layanan terbatas, biaya tinggi, serta stigma yang memberatkan masyarakat.
Kamu pernah nggak, merasa hidup ini sudah sulit. Lalu tiba-tiba ada yang justru bikin tambah sulit? Seperti sedang berjalan di jalanan menanjak. Terus ada orang yang tanpa rasa bersalah menaruh batu besar di punggungmu.Â
Nah, begitulah kira-kira yang terjadi dengan kesehatan mental di Indonesia. Â
Pemerintah gencar berkampanye soal pentingnya kesehatan mental. Ada seminar, webinar. Hingga influencer yang digandeng untuk mengajak masyarakat lebih peduli.Â
Tapi di saat yang sama, kebijakan pemerintah justru buat rakyat makin stres. Akses layanan kesehatan mental masih susah. Biaya hidup makin tinggi. Dan stigma terhadap gangguan mental masih kuat. Â
Jadi, gimana caranya kita bisa punya kesehatan mental yang baik kalau justru negara yang jadi sumber stres utama? Â
Kampanye Gencar, Tapi Realita Berbeda Â
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan 50% puskesmas di Indonesia bisa menyediakan layanan kesehatan jiwa pada 2025 (Antaranews).Â
Sekilas, ini terdengar kemajuan. Tapi jika lihat kenyataan di lapangan. Sampai saat ini, baru 40% puskesmas yang punya layanan tersebut. Distribusinya pun tidak merata. Â
Kalau tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya. Mungkin masih ada harapan buat ketemu psikolog atau psikiater. Tapi kalau di daerah? Jangan harap.Â
Di banyak tempat. Layanan kesehatan mental masih minim. Kalaupun ada. Antreannya panjang. Dan biayanya tidak murah. Â