Skor IPK Indonesia naik, tapi korupsi masih merajalela, demokrasi melemah, dan penegakan hukum mandek.
Tahun ini, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia meningkat dari 34 ke 37, memunculkan optimisme di sebagian kalangan. Namun, apakah ini benar-benar kemajuan nyata?
Di sisi lain, penegakan hukum dan demokrasi justru melemah, menunjukkan bahwa korupsi masih mengakar. Apakah ini pertanda perbaikan, atau sekadar ilusi angka di atas kertas?Â
Perubahan Metode, Bukan Perubahan Nyata Â
Skor IPK ditentukan oleh sembilan indikator yang mengukur persepsi korupsi di berbagai sektor, termasuk bisnis, administrasi publik, dan politik.Â
Tahun ini, lima dari sembilan indikator mengalami peningkatan. Namun, yang menjadi perhatian utama adalah kembalinya indikator WEF, yang memberi pengaruh signifikan pada kenaikan skor. Â
Menurut Transparency International, indikator WEF sebelumnya tidak digunakan selama dua tahun terakhir.Â
Kembalinya indikator ini lebih kepada perubahan teknis dalam metode pengukuran, bukan karena adanya perbaikan nyata dalam pemberantasan korupsi. Â
Selain itu, skor IPK Indonesia tetap tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.Â
Singapura, misalnya, memiliki skor 83, jauh di atas Indonesia yang masih berkutat di angka 37. Bahkan, Vietnam yang dulu sering dianggap lebih korup, kini hanya terpaut beberapa poin di bawah kita. Â
Dengan kata lain, kenaikan skor ini bukanlah kemenangan. Ini hanya perubahan teknis yang membuat angka tampak lebih baik di atas kertas, sementara realitas di lapangan tetap sama atau bahkan memburuk. Â