Jika benar Indonesia mengalami kemajuan dalam pemberantasan korupsi, seharusnya ada bukti konkret di lapangan. Tapi nyatanya, data justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Â
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) justru turun dari 3,92 pada tahun 2023 menjadi 3,85 pada 2024.Â
Penurunan ini mengindikasikan bahwa masyarakat masih permisif terhadap korupsi. Banyak yang masih menganggap suap sebagai "jalan pintas" yang wajar untuk mempercepat proses administrasi atau mendapatkan keuntungan tertentu. Â
Lebih buruk lagi, penegakan hukum terhadap kasus korupsi semakin melemah.Â
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa tren pemberantasan korupsi saat ini justru mengalami regresi. Misalnya, meskipun IPK naik, jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK mengalami penurunan drastis.Â
Tahun 2023, KPK hanya menangani 70 kasus korupsi, jauh lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Â
Lemahnya penegakan hukum juga tercermin dalam banyaknya kasus korupsi yang tidak berujung pada hukuman berat. Beberapa koruptor justru mendapatkan remisi dan bebas lebih cepat dari masa hukuman yang seharusnya.Â
Hal ini semakin memperkuat persepsi bahwa hukum di Indonesia masih tebang pilih, di mana orang-orang dengan kekuasaan dan pengaruh besar bisa lolos dari hukuman yang seharusnya mereka terima. Â
KPK yang Melemah dan Dampaknya terhadap IPK Â
Dulu, KPK adalah simbol pemberantasan korupsi yang paling ditakuti. Namun, sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019, kewenangan lembaga ini semakin dipangkas.Â
Penyadapan dan penyelidikan kasus menjadi lebih sulit dilakukan, dan pegawai KPK yang kritis terhadap pelemahan lembaga ini malah diberhentikan. Â
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, mengatakan bahwa pelemahan ini berdampak langsung pada efektivitas pemberantasan korupsi.Â