Mohon tunggu...
Ahyar Stone
Ahyar Stone Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Setiap perjalanan adalah pelajaran, karena itulah, perjalanan paling buruk sekalipun, tetap membawa pelajaran yang baik (Ahyar Stone)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jalan Terbaik Soe Hok Gie

26 Maret 2016   09:45 Diperbarui: 26 Maret 2016   11:13 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PATRIOTISME berasal dari kata patriot, yang artinya adalah: pecinta dan pembela tanah air. Sedangkan patriotism, adalah semangat cinta tanah air. Pengertian Patriotisme adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air, seorang pejuang sejati, pejuang bangsa yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana ia sudi mengorbankan segala-galanya, bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air.

Pada jaman kemerdekaan, patriotisme bangsa Indonesia diwujudkan dalam bentuk berperang melawan penjajah. Rakyat bahu membahu menyumbangkan bakti terbaiknya kepada tanah air demi terwujudnya cita-cita bersama yaitu Indonesia merdeka. Ada yang ikut berperang secara fisik melawan penjajah, ada yang menjadi petugas dapur umum, petugas logistik, menjadi kurir, menjadi mata-mata, menolong yang terluka, membantu bahan pangan, dan lain-lain. Setelah merdeka, bentuk patriotisme bangsa Indonesia berubah menjadi perang melawan kemiskinan dan kebodohan, penegakan hukum, dan sebagainya.

 Sayangnya, pasca perang kemerdekaan tidak semua rakyat Indonesia mampu menjaga nyala api patriotisme dalam dirinya. Semakin jauh dari masa perang kemerdekaan, semangat patriot makin redup. Kebersamaan sebagai bangsa terancam. Banyak penyebabnya, yang antara lain karena mulai muncul sikap mementingkan diri sendiri dan aji mumpung, terutama dari segelintir mantan pejuang yang berkuasa. Situasi itu membuat seorang pemuda Soe Hok Gie prihatin sekaligus geram.

Di mata Soe Hok Gie pemimpin-pemimpin Indonesia telah menghianati perjuangannya sendiri. “Mereka memang berjuang melawan penjajah, namun ketika kemerdekaan sudah digenggam, mereka sibuk memperkaya diri sendiri”, begitu Soe Hok Gie.

Bagi Soe Hok Gie, pemimpin harus berpikir cerdas, rela banting tulang untuk memajukan ekonomi rakyat, tidak malas berjuang meningkatkan pendidikan rakyat, serta mau mendistribusikan pembangunan secara benar dan berkeadilan untuk seluruh rakyat. Tetapi, kenyataannya tidak seperti itu, para pemimpin sibuk memikirkan diri sendiri dan hanya mau berkorban jika menyangkut kelangsungan hidup kelompoknya. Akibatnya, rakyat masih banyak yang miskin dan bodoh. Kesenjangan pembangunan terjadi dimana-mana. Kegeraman Soe Hok Gie kian menjadi-jadi.

Bagi Soe Hok Gie, situasi Indonesia yang seperti itu tidak boleh berkelanjutan, tetapi harus dihentikan. Pemerintah harus dikritik, karena hanya dengan kritik obejektivitas pemerintah dapat dikembalikan. “Saya tidak segan-segan mengkritik pemerintah, karena hanya dengan kritik yang jujur, objektivitas dapat dibangunkan”, tegas Soe Hok Gie.

Keberanian kaum muda untuk mengkritik pemerintah bagi Soe Hok Gie adalah perlu sekaligus mutlak, karena dengan keberanian itulah generasi muda bangsa dapat menunjukan keberpihakannya pada rakyat. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kita-lah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia”, ajak Soe Hok Gie.

Tentu tidak semua generasi muda mengamini ajakan berani Soe Hoe Gie. Ada saja yang tidak sepaham dengannya. Tetapi semua itu tidak membuat Soe Hok Gie kehilangan keberpihakannya pada rakyat dan tidak mengendorkan semangat juangnya untuk memajukan bangsa. “Di Indonesia hanya ada dua pilihan”, kata Soe Hok Gie menyadari, “Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Saya takut apa jadinya saya kalau patah-patah”.

Sejarah kemudian membuktikan, idealisme Soe Hok Gie tidak pernah patah-patah. Idealismenya terus menebal, kokoh, dan tidak pernah bengkok. Ia tetap tegas, kritis, reaktif, cerdas, dan tak mempan digertak. Jika ada penyelewengan, Soe Hok Gie langsung bereaksi. “Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”, begitu yang sering diteriakannya, dan teriakan itu benar-benar dibuktikannya.

Sahabat kental Soe Hok Gie pada masa mahasiswa, Herman O. Lantang yang kala itu menjabat Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menceritakan kehebatan Soe Hok Gie di panggung demonstrasi. Dalam aksi Mahasiswa, kata Herman mengenang, “Biasanya aku mengkordinir dan memimpin massa mahasiswa Fakultas Satra di lapangan. Sedangkan Soe Hok Gie bergerak dibelakang layar sebagai pemikir dan otak yang mengatur strategi pelaksanaan. Dia juga berbakat sebagai ‘pengompor’ massa dengan pidato atau tulisan-tulisannya di koran, yang tegas, jujur, berani, blak-blakan dan berapi-api. Biasanya kalau massa sudah kumpul, Soe Hok Gie kupersilahkan angkat bicara. Ketika dia mulai bicara ataupun ber-agitasi dengan berani dan meyakinkan, massa terpukau dan kagum mendengarkannya. Disanalah kharisma Soe Hok Gie muncul”.

 Disamping garang di panggung aksi mahasiswa, Soe Hok Gie memang penulis muda yang sulit dicari tandingannya. Tulisan – tulisan Soe Hok Gie kendati nadanya berapi-api, dan tegas, namun penuh kejujuran, dirangkai dengan kosa kata yang tepat, dan objektif. Soe Hok Gie dapat menulis sebaik itu karena, kendati usianya muda tetapi secara keilmuan dia matang, pengetahuannya luas, pengamatannya cermat, analisanya setajam pisau cukur, serta memiliki komitmen tinggi untuk menjaga kejujuran dan menegakan kebenaran diatas segalanya. Hasilnya, tulisan Soe Hok Gie sangat berani, namun sesuai dengan kontek masalah. Mendalam tetapi efektif, dan enak dibaca. Tajam, tetapi dapat dipertanggungjawabkan karena berkesesuaian dengan kaidah keilmuan. Visioner, namun tetap membumi. Semua tulisan Soe Hok Gie benar-benar bernas, dan bahkan masih relevan hingga hari ini.

 “Soe Hok Gie adalah penulis yang mampu mengawinkan konsep dan teori ke dalam kehidupan praktis, sehingga tulisannya selalu mempunyai kedalaman dan memiliki perspektif. Berbeda dengan wartawan (kala itu) yang menuliskan apa yang dilihat, didengar, dan diamati seperti apa adanya. Sedangkan seorang dosen, akan menulis teori-teori seputar ilmunya, tetapi tidak menerapkannya dalam kehidupan nyata. Itulah yang membuat Soe Hok Gie berbeda”, kata Aris Tides Katopo, pemimpin harian Sinar Harapan,  koran yang sering memuat tulisan Soe Hok Gie.

 Dalam mengkritik pemerintah, Soe Hok Gie tidak hanya berhenti di panggung orasi, menulis di koran, menjadi pembicara utama di acara diskusi di berbagai kota, tetapi juga melalui aksi jalanan yang tergolong nekad. Soe Hok Gie adalah pelopor aksi lempar bom molotov. Demonstrasi sambil melempar bom molotov, kemudian menjadi aksi yang ditakuti aparat keamanan. Soe Hok Gie juga penggagas demonstrasi naik sepeda ke Mahkamah Agung, BI, Pertamina, Dirjen Migas, dan  lain-lain. Alasan Soe Hok Gie, dengan bersepeda rombongan demonstran dapat dengan mudah menghindari kejaran patroli tentara, yaitu dengan menghilang di jalan-jalan kecil Ibu Kota.

Hasil aksi bersepeda, ternyata benar-benar efektif. Ketika mereka mencari Dirjen pertamina Ibnu Sutowo, tidak ada pasukan keamanan yang dapat menghalangi. Saat itu Soe Hok Gie langsung dapat masuk ke ruangan Ibnu Sutowo, dan dengan lantang bertanya, “Mengapa harga bensin dinaikan?”. Ketika Ibnu Sutowo keluar menemui teman-teman mahasiswa Soe Hok Gie, Dirjen pertamina itu jadi ejekan mahasiswa, karena terlihat terkencing di celana.

Soe Hok Gie dan teman-temannya juga menyerbu rumah seorang menteri di pemerintahan Orde Lama, Oei Tjoe Tat. Dalam penyerbuan itu, Soe Hok Gie berada di barisan yang menyerang dari jurusan belakang. Akibatnya Soe Hok Gie menerima berondongan tembakan peringatan dari pengawal Oei Tjoe Tat. Masih banyak aksi-aksi lainnya yang diikuti Soe Hok Gie, baik sebagai inisiator, pengatur lapangan, sebagai barisan garis depan, maupun ketiga-tiganya.

Semua yang dilakukan Soe Hok Gie, merupakan bukti tak terbantahkan betapa tebal patriotisme, serta jiwa peduli Soe Hok Gie pada bangsanya. Semangat ini pula yang kemudian menggerakan Soe Hok Gie mengajak kawan-kawannya mendirikan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Akhirnya, melalui rapat mahasiswa FSUI yang dipimpin Soe Hok Gie, terbentuklah Mapala Prajnaparamita FSUI

Bagi Soe Hok Gie, memupuk patriosme yang sehat, hanya bisa dicapai dengan jalan hidup di tengah alam dan di tengah masyarakat. Patriotisme yang sehat tidak mungkin timbul dari slogan-slogan indoktrinasi ataupun poster-poster. Adalah hal yang mustahil patriotisme dapat timbul melalui jendela bus kota, apalagi jendela mobil mewah.

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami,” kata Soe Hok Gie menerangkan alasan dasar, dan tujuan besarnya mendirikan organisasi pecinta alam, “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Yang disampaikan Soe Hok Gie, jelas merupakan antithesis terhadap model-model penanaman patriotisme di Indonesia era Orde Lama. Kala itu, methode menanamkan patriotisme terhadap bangsa Indonesia, adalah menyampaikan slogan-slogan patriotisme melalui pidato-pidato di lapangan yang dihadiri rakyat dalam jumlah ribuan, melalui acara-acara seremonial, dan poster-poster yang ditempel di banyak tempat. Tetapi, semua itu hanya melahirkan efek sesaat. Tidak untuk jangka panjang. Kekuatan slogan patriotisme di poster hanya mempan saat dilihat, tetapi ketika rakyat mengalihkan pandangan, kekuatan pesan itu tidak melekat. Sirna.

Mendirikan organisasi pecinta alam adalah bentuk konkrit ketidakpercayaan Soe Hok Gie pada slogan-slogan dan hipokrisi (kemunafikan). Dengan kata lain, mendirikan pecinta alam merupakan “perlawanan” Soe Hok Gie dan kawan-kawan pecinta alamnya terhadap slogan-slogan dan kemunafikan tersebut. Soe Hok Gie dan kawan-kawan, punya cara sendiri untuk menanamkan patriotisme yang merupakan sendi penting membangun karakter bangsa, yaitu dengan mengenal Indonesia dan rakyatnya secara langsung.

Faktor lain yang mendorong Soe Hok Gie mendirikan Mapala adalah situasi kemahasiswaan yang tidak kondusif. Soe Hok Gie sangat getol menolak kehadiran organisasi ekstra kemahasiswaan yang merupakan underbouw partai politik. Organisasi mahasiswa yang ngetop pada waktu itu, umumnya mempunyai ikatan dengan Partai Politik (Parpol) tertentu. Di kampus, rivalitas organisasi ekstra kemahasiswaan itu sudah sangat telanjang. “Sikap mereka itu, menyebabkan suasana di fakultas sangat tidak menyenangkan” kata Soe Hok Gie.

Mapala bersifat independen. Bukan bawahan Parpol. Kegiatannya tidak berada di jalur kepentingan politik praktis dari pihak luar kampus, tetapi di alam bebas. Organisasi baru ini akan menjadi wadah berkumpulnya berbagai kelompok mahasiswa yang kerap bertikai di kampus gara-gara perbedaan kepentingan politik jangka pendek. Organisasi pecinta alam akan merekatkan lagi mahasiswa yang sudah berceraian di kotak-kotak yang saling berseteru tersebut. Melalui kegiatan alam bebas, persatuan dan kesatuan sesama generasi muda bangsa akan tercipta. Sikap ini juga bisa dimaknai, kalaupun kemudian Mapala bergerak di politik, hanyalah semata-mata panggilan hati nurani untuk membela kepentingan rakyat. Bukan karena panggilan ketua Parpol, apalagi titipan pejabat. Politik Mapala adalah murni dari, oleh, dan untuk rakyat. Bukan karena ditunggangi kepentingan pihak lain.

Sungguh hebat methode Soe Hok Gie membangun karakter dan merajut kebersamaan generasi muda. Metodenya sangat manjur menumbuhkan persatuan, kesatuan, kegotongroyongan, dan patriotisme. Berkegiatan di alam bebas, membuat generasi muda calon pemimpin bangsa kenal langsung kehidupan bangsa dan tanah air secara on the spot, serta menyehatkan generasi muda secara fisik, dan mental.

Pemikiran Soe Hok Gie memang terkenal kreatif. Gagasannya jauh ke depan, solutif, efektif, dan aktual seiring jaman. Pikiran cerdas, serta keteguhan sikapnya menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa dan kaum muda pada masa itu, dan bahkan hingga ke jaman reformasi ini. Namun, kendati dikenal sebagai demostran tulen yang galak, dan tanpa tedeng aling jika mengkritik penguasa, Soe Hok Gie merupakan sosok yang humanis. Soe Hok Gie adalah teman yang baik, tak pernah lelah membagi pengetahuan, ilmu dan perhatian kepada orang-orang disekitarnya. Menurut teman Soe Hok Gie, Luki Sutrisno Bekti, Soe Hok Gie sangat perhatian pada teman. Jika ada teman yang sakit, Soe Hok Gie pasti menengok.

Luki menceritakan, “Pernah suatu kali Soe Hok Gie mengajak saya dan beberapa teman menengok seorang teman yang dirawat di rumah sakit kejiwaan. Teman itu, seorang perempuan, mengalami stres yang sangat berat sehingga memerlukan perawatan khusus. Soe Hok Gie menengoknya bukan sekali, tetapi berkali-kali. Ia tak pernah bosan memberi dukungan moral bagi teman itu”.

“Soe Hok Gie juga tempat curhat yang baik. Ia pandai mendengarkan dan menanggapi keluh kesah teman-temannya. Soe Hok Gie-lah yang menghidupkan kegiatan kampus. Dia mendorong mahasiswa bergairah mengikuti kegiatan kampus. Soe Hok membagi pengetahuannya tentang musik, drama, puisi, film, dan ilmu diluar pelajaran kuliah kepada mahasiswa. Soe Hok Gie juga penyayang binatang. Puluhan Anjing dan kucing liar dipungut di pinggir jalan, lalu dibawanya pulang untuk dirawat”.

“Ketika orang belum berpikir tentang penghijauan dan kebersihan lingkungan, Soe Hok Gie meminta bibit cemara dan beringin dari Kebun Raya Cibodas, lalu menanammnya di kampus UI Rawamangun. Sampai sekarang pohon itu masih hidup. Ia juga aktif di radio UI. Kalau Soe Hok Gie mengajar, dijamin penuh mahasiswa. Tidak ada kursi kosong”.

Soe Hok juga selalu bersemangat mengajak mahasiswa mendaki gunung. Bagi mahasiswa yang belum pernah mendaki gunung, Soe Hok Gie dengan sabar akan menerangkan nilai-nilai edukasi yang ada di kegiatan mendaki gunung. “Muatan edukasi di mendaki gunung sangat bermanfaat dalam hidup kita”, kira-kira begitu Soe Hok Gie memberi pencerahan.

Jika rombongan mahasiswa yang akan ke gunung kurang dana, Soe Hok Gie juga mencarikan dananya. Soe Hok Gie mau menghubung pihak lain, dan meminta mereka menjadi donator pendakian. Tentu saja mereka tidak keberatan memberi donasi, karena Soe Hok Gie dapat secara terang benderang menerangkan bahwa mendaki gunung sangat baik untuk membangun patriotisme generasi muda. Kadang Soe Hok Gie menemui pimpinan koran tempatnya biasa mengirim artikel. Honornya diminta duluan untuk mendaki bersama teman-teman. Tulisan Soe Hok Gie dikirim sepulang dari mendaki gunung. Janji itu selalu ditepati Soe Hok Gie.

“Saya kadang berpikir, bagaimana Soe Hok Gie bisa membagi waktu dan perhatiannya buat begitu banyak permasalah, politik, sosial, budaya, dan terutama untuk begitu banyak orang. Soe Hok Gie memang mempunyai energi yang luar biasa. Ia mampu mengerjakan banyak hal secara bersamaan, dan bisa memberikan perhatian secara sangat khusus pada banyak teman. Soe Hok Gie, sepertinya tak punya waktu untuk dirinya sendiri”, kenang Luki penuh apresiasi.

Soe Hok Gie memang sosok penuh warna seindah pelangi. Semua warnanya memberi manfaat bagi siapapun. Kepergiannya secara mendadak pada 16 Desember 1969, dalam sebuah pendakian yang kemudian menjadi pendakian paling dikenang di Indonesia, sudah barang tentu mendapat perhatian dari mana-mana, di dalam dan di luar negeri. Kematian Soe Hok Gie yang mengejutkan itu, jadi berita utama dan ulasan di berbagai media massa. Menghormati Soe Hok Gie, Kompas 22 Desember 1969, dalam tajuk rencana menulis, “…seorang pemuda yang luar biasa telah meninggalkan kita. Luar biasa dalam banyak hal. Cerdas, brilian, jujur, dan terbuka. Seorang idealis yang murni, dengan perasaan keadilan yang tajam. Suatu manusia yang bebas. Dan semua itu dihias dengan keberanian yang luar biasa pula”.

Soe Hok Gie telah berpulang, tetapi spirit perjuangannya tetap hidup. Sepeninggal Soe Hok Gie, organisasi pecinta alam terus bertumbuhan, dan akan berjalan sampai batas sejauh-jauhnya. Membangunkan patriotisme di kalangan pemuda, adalah perjuangan yang tak akan pernah selesai. Untuk itulah organisasi pecinta alam itu ada, karena patriotisme tidak mungkin tumbuh melalui poster slogan dari orang-orang hipokrit. Patriotisme yang sehat, hanya bisa dicapai dengan jalan hidup di tengah alam Indonesia, dan di tengah rakyattnya.

Soe Hok Gie pergi diusia yang tergolong muda, 27 tahun. Namun, Soe Hok Gie telah memilih jalan terbaik dalam hidupnya, yaitu menjadi pecinta alam.

oOo

Ahyar Stone. Pemerhati Pecinta Alam. “Sekali pecinta alam, selamanya pecinta alam”.

Bacaan :
1. Badil, Rudi dkk (ed). 2009. Soe Hoe Gie Sekali Lagi.  Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Jakarta.  KPG. Kepustakaan Populer Gramedia.

2. Stanley, Santoso Aris. (ed).2009. Soe Hok Gie.Zaman Peralihan. Depok. Gagas Media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun