Mohon tunggu...
Dina Ahsanta Puri
Dina Ahsanta Puri Mohon Tunggu... Guru - Your story teller

Menyukai kehidupan yang damai dan sedikit lucu. Dulu sempat bercita-cita jadi atlet badminton oleh karenanya gemar menulis. Mengimani filsafat lingkaran; kebaikan melingkar, keburukan melingkar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perayaan, Ingatan dan ‘Minke’

31 Januari 2016   23:09 Diperbarui: 31 Januari 2016   23:35 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ulang Tahun, suatu perayaan; waktu yang dikenang dalam pengulangan. Saya pun terkenang seseorang di ulang tahun Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 ini.

Akhir-akhir ini waktu seakan mengepung saya untuk sering teringat nama Minke. Minke, Minke, Minke, begitu nama itu berkelebatan di kepala. Melihat buku-buku karangan Pram di lemari, saya teringat Minke. Membuka BBM, ada kawan membuat PM tentang Minke. Membuka Line, kawan saya menjual kaos bertemakan Minke. Membuka Facebook, ada Fanspage humor meme yang memposting plesetan buku Pram dari Gadis Pantai menjadi Gadis Partai, teringat Pram, tentu saya teringat Minke lagi.  Apalagi, di kota yang  saya tinggali untuk beberapa tahun ini, para pegiat pers kampus seluruh Indonesia tengah merayakan Dies Natalis ke-23 PPMI, saya pun jadi teringat Minke lagi.

Mungkin beberapa awam akan bertanya-tanya mengapa harus teringat Minke? Atau mungkin justru  pembaca tulisan ini memilih berhenti membaca lantaran sudah tahu Minke atau bosan di awal lantaran saya berkisah tentang ingatanku.

Kali  pertama saya mengenal Minke ialah lewat Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.  Bumi Manusia merupakan satu dari tertralogi Pulau Buru; Bumi Manusia, Anak semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Lewat tulisan Pram itu, saya menjadi pengagum sosok Minke;  pemuda terpelajar yang dalam bayang saya begitu karismatik. Bahkan Annelis, gadis jelita peranakan Indo-Belanda, putri Nyai Ontosoroh, tergila-gila padanya.

Kamis malam lalu, kawan saya menyambangi kos, lantas dia berkisah tentang Pram. Habis baca karya Pram rupanya. Pada intinya dia merasa kagum. Dia banyak cerita tentang Minke pula dan bertanya-tanya, apakah tokoh-tokoh dan cerita itu fiksi belaka atau nyata? Saya menjawab setahu saya saja. Awalnya memberikan pengandaian Pegasus. Pegasus itu fiksi, mana ada kuda bersayap dengan tanduk unicorn. Tapi, pengarang tokoh pegasus mempunyai latar belakang mengapa dia bisa membangun tokoh itu, tak lepas dari kehidupan. Bukankah di dunia nyata ada kuda, ada angsa? Saya tak menerangkan lebih lanjut perumpamaan itu, biar kawan saya menyerap sendiri.

Lalu siapakah Minke? Apakah sosok Minke benar-benar pernah hidup? Berdasarkan berbagai sumber yang saya peroleh selama ini, baik dari buku-buku Pram, bincang-bincang ringan, serta sumber lain, Pram memang menggambarkan seseorang dengan tokoh Minke. Dialah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang memiliki nama kecil Djokomono.


Banyak tokoh yang terlepas dari kesadaran historis kita. Ada dua kemungkinan mengapa kita seakan ‘hilang ingatan’. Bisa karena ‘pemburaman ‘sejarah’ oleh kaum penguasa atawa diri kita saja yang tak sungguh-sungguh mempelajari sejarah.

Seperti buku Seno Gumiro Adjidarmo , Jika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Dan memang begitu adanya, membaca karya-karya sastra membuat saya kadang harus menyetting ulang memori saya yang sebelumnya terisi materi-materi dari bangku sekolah. Juga menambah informasi tak terjamah. Dan sebagai pegiat pers kampus, saya merasa ironis pada diri, merasa terlambat mengenal R.M. Tirto Adhi Suryo.

Minke; R.M. Tirto Adhi Soerjo dan Bangkitnya Pers Pribumi

Salah satu gerakan perjuangan kemerdekaan adalah penerbitan koran pribumi di awal abad ke-20, R.M. Tirto Adhi Suryo lah pelopor pers pertama pribumi. Menjadi titik pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi. Lewat tulisan-tulisan kritis dan tajam, mengajarkan kaum terjajah untuk beralih ke alam demokrasi modern, menjadi kaum mardika.

1969-1979-dalam pengasingannya di Pulau Buru, lewat tulisnya, Pram menghidupkan sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo dalam pribadi tokoh Minke.

Minke digambarkan sebagai putra bangsawan yang berjuang dari bawah. Dalam Roman Bumi Manusia, Minke memiliki panutan, mama dari Annelis, Nyai Ontosoroh dari nama Buitenzorg (Boerderij Buitenzorg: Perusahaan Pertanian). Meski gundik Belanda, Nyai Ontosoroh ialah perempuan tegar dan lebih terpelajar ketimbang orang Belanda.

Minke  mengenyam bangku sekolah Belanda HBS, dan berlanjut ke sekolah kedokteran Stovia di Batavia. Namun, sekolahnya terbengkalai dan dikeluarkan dari sana. Dia lebih suka dunia tulis-menulis.

Pada awal kiprahnya di dunia menulis untuk dimuat disurat kabar, dia menggunakan bahasa Belanda. Hanya bisa dibaca golongan terpelajar, bukan mayarakat kelas bawah macam pribumi. Dan dalam Anak Semua Bangsa, sahabat Minke, Jean Marais, Pelukis Prancis juga mantan tentara berkaki buntung, memperingatkan Minke.

“Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. Kau tak kenal bangsamu sendiri,” kata Jean Marais.

Minke merasa terpukul dengan kata-kata itu juga terpecut semangatnya untuk memperjuangkan bangsanya; bertekad menyadarkan masyarakat bangsanya dengan menulis dalam bahasa Melayu. Dikisahkan dia belajar langsung mengenal seluk beluk kehidupan rakyat jelata dari seorang petani Jawa bernama Trunodongso.

Selanjutnya, Jejak Langkah, mengisahkan perjuangan Minke alias Tirto dalam mendirikan organisasi dan surat kabar. Organisasi pribumi pertama yang didirikan Minke pada masa pergerakan nasional adalah Sarekat Priyayi 1904. Tiga tahun kemudian, 1907, Minke mendirikan surat kabar nasional Medan Priyayi di Bandung. Surat kabar nasional pertama yang berbahasa Melayu (bahasa Indonesia). Seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Di sana, Minke amat berani dan terang-terangan membongkar kebusukan Belanda, hingga dia ditangkap dan diasingkan.

Rumah Kaca, mengisahkan penghujung perjalanan hidup Minke. Dia tak hanya dikagumi bangsanya tapi juga Belanda. Meski begitu, Minke tetap menyatakan perlawanan terhadap Belanda seperti kata-katanya:

“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”

Di luar tetralogi Pulau Buru, penggambaran R.M. Tirto Adhi Soerjo tertuang di Biografi Minke, Sang Pemula. Pram, seakan ingin berseru bahwa kita pernah memiliki pejuang bersenjata pena yang ditakuti Belanda. Sosok  terpelajar Minke atawa R.M. Tirto Adhi Soerjo bagi saya sendiri, mengingatkan pentingnya keberanian dalam menulis. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Berkat jasa-jasa dan pergerakan R.M. Tirto Adhi Soerjo, beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun 1973 oleh Dewan Pers RI. Pemerintah RI juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.

 

Itulah Minke, Begitulah R.M. Tirto Adhi Soerjo... .

 

Kamar Diam, 29 Januari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun