Dua Minggu ini, cerpen Kompas Minggu membahas tema makanan. Itu menurut saya. Sangat bertema ringan tetapi perlu dipikirkan secara mendalam. Ya minimal perlu direfleksikan. Postingan ini mencoba membahas ke arah sana karena saya melihat ada satu garis kesamaan antara cerpen karangan Abba Mardjani dengan karangan Adek Alwi. Yakni kejujuran. Uniknya kedua cerpenis tersebut mengemas pesan kejujuran dalam lanskap makanan daerah yang berbeda. Maksudnya, berbeda dalam bentuk dan citra makanan tersebut. Gemblong. Ada yang tahu makanan ini? Menurut saya, mungkin hanya diketahui oleh masyarakat yang bermukim di pulau Jawa. Atau, sebagian orang yang pernah tinggal di pulau Jawa ini. Gemblong berbentuk penganan (jajanan pasar) yang terbuat dari adonan singkong. Penganan ini akan disajikan dengan lumuran saus gula aren. Menurut saya, ternyata rahasia enaknya Gemblong bukan terletak pada bahan pembuatnya tetapi pada orang yang meraciknya. Ini yang saya simpulkan dari cerpen karangan Abba Mardjani. Dalam cerpen ini, pembuat dan pedagang Gemblong keliling kampung merupakan tokoh utamanya. Saya sebagai pembaca awalnya tidak tahu apa yang diributkan oleh Masdudin dan Asyura. Setelah tahu, saya bertanya "mengapa Masdudin kangen dengan Gemblong buatan Mak Saniah". Apakah karena Asyura membiasakan membeli Gemblong ketika Mak Saniah datang. Ternyata tidak. Penyebabnya karena tokoh utama dalam cerpen ini menangkap belas kasihan yang diberikan oleh Asyura sebagai suatu kepercayaan. Tidak ada rasa curiga apapun. Inlah sifat representasi orang jujur. Maka dari itu, Masdudin kangen terhadap Gemblong Mak Rsa. Ini buah kejujuran yang pertama. Buah kejujuran kedua merupakan balasan Mak Risa sendiri terhadap Masdudin dan Asyura. Walau tersenyum di bagian akhir cerpen, saya sedikit mengerti ternyata resep "Cara Bikin Kue Gemblong Mak Saniah" mengandaikan suatu prinsip "kejujuran harus dibalas dengan kejujuran". Kalau penganan Gemblong merepresentasikan citra makanan orang kecil di pulau Jawa, tidak dengan masakan Padang. Ya citra masakan Padang telah menasional, mungkin mendunia. Adek Alwi membahas masakan Padang dalam cerpennya. Walau dinarasikan dengan sederhana, cerpen ini agak filosofis. Selain filosofis, cerpen ini juga mengkaitkan pesannya dengan tema kekinian. Yakni korupsi. Walau citranya sudah tinggi, ternyata rahasia masakan Padang lagi-lagi berada pada siapa yang meraciknya. Nantinya, orang yang memakannya juga akan mampu menjaga nafsu perutnya. Hubungan yang mantap. Simak penggalan cerpen Adek Alwi:
"Apa kitanya yang kerap ia santap di luar rumah, lalu menjelma nafsu serakah, mengalir dalam darah? Mengapa tak ia jaga lambungnya, perutnya, seperti ayah, juga kakeknya? Seberapa banyak, seberapa lama, seberapa parah gerangan yang ia lahap di luar, sampai-sampai yang berasal dari masakan ibunya di masa kecil, atau dari istrinya kini, seolah tidak berbekas?"
Lalu di mana gradasi kejujuran dalam cerpen "Menjaga Perut" ini? Ada pada sosok Laila. Ya kejujuran itu direproduksi oleh Laila dengan masakan Padang yang variatif, inovatif, dan sedap. Tak salah orangtua suami Laila memilihnya untuk berjodoh. Tapi sayang, anak-anaknya Laila tidak mencontoh filosofi masakan Padang. Akhirnya, tahu sendiri akibatnya. Kesamaan dua cerpen yang saya bahas ini ada dalam sosok perempuan sebagai ibu. Menurut anda, apakah ini klise "ibu merupakan pengajar pertama bagi anak-anaknya tentang makna kejujuran". Salah-satu cara mengajarkannya adalah ketika memasak dan menyuapi makananya. Kalau dibenturkan dengan isu kekinian, apakah korupsi yang sedang menjalar karena peran ibu terkurangi di rumah? Sebabnya apa ya? [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Apa karena makanan ini, makna kejujuran jadi hilang (ilustrasi : www.clipartof.com)"][/caption]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI