Dalam sistem ekonomi modern, pajak adalah instrumen utama negara untuk membiayai pembangunan dan pemerataan kesejahteraan. Namun di Indonesia, praktik perpajakan sering kali menimbulkan paradoks: masyarakat kelas menengah ke bawah membayar pajak penuh tanpa ruang untuk menghindar, sementara banyak perusahaan besar justru bisa mengurangi kewajiban pajaknya melalui celah hukum (loophole) yang sah secara regulasi. Kondisi inilah yang kemudian secara tidak langsung menciptakan ketimpangan dalam struktur fiskal, di mana kelompok kaya dan pemilik modal bisa leluasa mengatur kewajiban mereka, sedangkan masyarakat kecil tidak punya pilihan.
Celah hukum dalam perpajakan Indonesia bisa ditemukan dalam berbagai regulasi. Misalnya, PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan memberi ruang bagi perusahaan untuk melakukan penyusutan aset. Perusahaan A dengan pendapatan Rp500 miliar setahun, misalnya, bisa mengakui depresiasi mesin hingga Rp50 miliar. Akibatnya, laba kena pajak yang semestinya Rp200 miliar turun menjadi Rp150 miliar. Dengan tarif PPh Badan 22%, kewajiban pajaknya berkurang dari Rp44 miliar menjadi Rp33 miliar. Semua ini sah menurut aturan, tetapi jelas mengurangi penerimaan negara.
Selain itu, ada pula fasilitas tax holiday dan tax allowance yang diatur dalam PMK 130/PMK.010/2020. Regulasi ini memungkinkan perusahaan dengan investasi besar di sektor prioritas menikmati pembebasan pajak hingga 100% selama 5--20 tahun. Contohnya, Perusahaan B dengan investasi Rp10 triliun di sektor manufaktur bisa memecah entitas usahanya menjadi beberapa PT agar masing-masing mendapat fasilitas tax holiday. Strategi ini membuat beban pajak berkurang hingga ratusan miliar rupiah setiap tahun, sementara UMKM hanya mendapat keringanan terbatas melalui PP 23/2018 berupa PPh final 0,5% tanpa fleksibilitas tambahan.
Kasus nyata pun pernah terkuak. Pada 2012, Asian Agri Group diduga melakukan penggelapan pajak senilai Rp1,3 triliun melalui rekayasa laporan keuangan dan transaksi fiktif (Tempo, 2012). Sementara itu, Adaro Energy pada 2019 disorot oleh Global Witness karena diduga mengalihkan keuntungan ke perusahaan afiliasi di Singapura untuk menekan kewajiban pajaknya di Indonesia (BBC Indonesia, 2019). Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa celah regulasi memungkinkan perusahaan multinasional melakukan profit shifting dan rekayasa laporan, yang berakibat langsung pada berkurangnya penerimaan negara.
Dari sisi data, ketimpangan akibat struktur perpajakan ini tercermin pada Gini Ratio. Menurut BPS, Gini Ratio Indonesia per Maret 2025 tercatat 0,375, turun tipis dari September 2024 yang sebesar 0,381 dan Maret 2024 yang sebesar 0,379. Di perkotaan, angkanya lebih tinggi yaitu sekitar 0,395, sedangkan di pedesaan lebih rendah di 0,299. Distribusi pengeluaran pun masih timpang: kelompok 40% terbawah hanya menguasai sekitar 18,65% total pengeluaran nasional (BPS, 2025). Angka-angka ini menunjukkan meski ada sedikit perbaikan, ketimpangan masih bertahan di level yang mengkhawatirkan.
Struktur perpajakan yang memberi keleluasaan bagi perusahaan besar untuk mengurangi kewajiban pajak, sementara masyarakat kecil tetap membayar penuh, jelas berkontribusi pada ketimpangan ini. Jika tidak dibenahi dengan serius, si kaya akan makin kaya karena kemampuan memanfaatkan celah hukum, sedangkan si miskin akan makin tertekan oleh inflasi dan kewajiban pajak yang tak bisa dihindari. Gini ratio pun berpotensi semakin tajam.
Lebih dari itu, masalah tidak berhenti pada celah hukum saja. Jika pendapatan pajak yang berhasil dikumpulkan pun kemudian dikorupsi, salah kelola, atau dialokasikan pada program-program yang tidak menyentuh akar persoalan masyarakat, maka kondisi masyarakat menengah ke bawah akan semakin terjepit. Mereka membayar pajak, tetapi layanan publik yang mereka terima minim kualitasnya. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang seharusnya menjadi penyeimbang justru tidak maksimal. Dalam situasi ini, pajak bukan lagi instrumen keadilan sosial, melainkan beban yang mempertegas jurang antara kelas kaya dan miskin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI