Fenomena pejabat "nepo baby" yang lahir bukan dari rekam jejak kerja keras, melainkan hasil konsolidasi kekuasaan, privilege keluarga, atau praktik KKN, semakin hari semakin menarik untuk dicermati. Dari awal, mereka tidak benar-benar ditempa oleh realitas sosial, melainkan lebih sering terbentuk dalam ruang nyaman yang penuh fasilitas. Akibatnya, ketika duduk di jabatan publik, respons yang muncul seringkali menarik, penuh jarak, dan minim empati. Kehidupan sehari-hari rakyat hanya sebatas data di atas kertas atau laporan staf, bukan pengalaman yang mereka rasakan secara langsung.
Kecenderungan itu terlihat jelas ketika pejabat hadir di tengah masyarakat. Jalan-jalan ditutup, pengawalan berlebihan digelar dengan dalih keamanan, dan publik dipaksa menonton "rombongan besar" lewat seperti parade raja-raja turun dari singgasana. Ironisnya, mereka seolah lupa bahwa kehadiran mereka di kursi empuk itu bukan karena anugerah istana, melainkan berkat pajak yang dibayarkan masyarakat. Secara psikologis, ini memperlihatkan jarak simbolik antara pemimpin dan rakyat: pemimpin merasa dirinya istimewa, sementara rakyat diperlakukan sekadar penonton.
Lebih jauh, ada pula tipe pejabat yang bisa disebut sebagai "gimmick leader." Mereka tampil seakan merakyat---berfoto di sawah, duduk di tikar sederhana, ikut makan di warung kecil, atau menggendong anak korban bencana. Pada permukaan, gestur itu berhasil menciptakan kesan empati. Namun di balik layar, justru ada praktik korupsi, pemborosan anggaran, atau permainan proyek yang merugikan negara. Dari kacamata psikologi kepemimpinan, ini merupakan bentuk symbolic leadership: menonjolkan simbol, bukan substansi; pencitraan lebih penting daripada hasil nyata.
Kondisi tersebut semakin parah dalam era post-truth. Di sini, persepsi jauh lebih berpengaruh daripada realitas. Satu video dramatis bisa melahirkan citra kepemimpinan heroik, meskipun kebijakannya jelas-jelas menyengsarakan rakyat. Publik pun sering terjebak dalam bias psikologis. Halo effect membuat masyarakat menilai seluruh kinerja pejabat hanya dari satu momen pencitraan yang tampak "indah," sementara confirmation bias mendorong sebagian orang tetap membela mati-matian walaupun fakta menunjukkan kebalikannya. Pada titik ini, politik berubah menjadi semacam reality show, di mana pejabat sibuk bermain peran, sementara rakyat dijadikan audiens yang harus menerima skenario.
Menjadi menarik ketika masyarakat kita sendiri masih terjebak dalam pola penghormatan berlebihan kepada pejabat, bahkan kepada koruptor sekalipun, namun justru bisa sangat kejam kepada pencuri kecil atau maling kelas bawah. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, kerugian terbesar justru muncul dari pejabat yang korup: kebijakan yang salah arah bisa mengorbankan masa depan generasi, merusak keuangan negara, bahkan mengancam kesejahteraan rakyat luas. Tetapi karena pola pikir feodal ini masih melekat, pejabat tetap dianggap harus dihormati, walau perilakunya jelas merugikan.
Akhirnya, lahirlah paradoks kepemimpinan di negeri ini: pejabat manja yang naik karena privilege, tampil sebagai nepo baby, melindungi diri dengan pengawalan ala raja, sesekali memainkan gimmick merakyat di depan kamera, dan tetap dihormati walau terasa ada kesalahan dalam perjalanannya. Publik sebenarnya sudah tidak lagi membutuhkan permainan sandiwara, melainkan bukti nyata dari sebuah kebijakan yang benar-benar mendorong kebaikan bagi masyarakat luas dan bukan gimmick atau pencitraan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI