Polarisasi politik antara pendukung Jokowi dan Prabowo akan semakin tajam karena pilpres 2019 merupakan kelanjutan pertarungan kedua kubu pada pilpres 2014 yang tampaknya belum selesai.
Pengamat politik Indonesia dari Australian National University Marcus Meitzner (2017) menggambarkan pemilihan presiden (pilpres) 2014 sebagai pertarungan antara dua kelompok politik di Indonesia.
Pendukung Jokowi mewakili kelompok yang disebut Meitzner sebagai kelompok teknokrat yang populis. Mereka merupakan varian dari
gerakan populisme modern yang menggunakan persona individu untuk memobilisasi massa.
Sebelum berkarir di politik, Jokowi adalah seorang pengusaha mebel dari Solo, Jawa Tengah. Dia memulai karir politiknya ketika menang menjadi walikota Solo tahun 2005 dengan dukungan partai politik. Karirnya melesat dan dia dipilih menjadi gubernur DKI Jakarta tahun 2012 sebelum akhirnya mencalonkan diri sebagai presiden tahun 2014.
Kelompok ini merespons positif citra Jokowi sebagai politikus generasi baru yang merupakan produk reformasi dan bukan bagian dari patron elite masa lalu. Mereka mengapresiasi pendekatan politik Jokowi yang moderat dan inklusif yang bersandar pada reformasi.
Berseberangan dengan kubu Jokowi adalah kelompok ultra nasionalis yang populis. Mereka mewakili pendukung Prabowo yang suka dengan pendekatan jagoannya yang pro rakyat miskin, anti "status quo", dan anti Barat. Mereka juga mendukung tiga agenda utama gerakan populis yang diadopsi Prabowo.
Ketiga agenda itu adalah mengganti sistem politik yang sudah rusak, menolak campur tangan pihak luar dalam perekonomian dan pengelolaan kekayaan alam, dan mengganti elite politik korup yang adalah antek asing.
Strategi ini terbukti efektif di beberapa negara. Keberhasilan metode bisa dilihat lewat keberhasilan Hugo Chavez di Venezuela, Rodrigo Duterte di Filipina dan Donald Trump di Amerika Serikat. Munculnya kedua kubu yang berseberangan ini menciptakan fanatisme akut yang membelah masyarakat menjadi dua kubu pada pilpres 2014.
Lahirnya cebong dan kampret
Jokowi memenangkan pilpres 2014 dengan margin tipis. Perbedaan raihan suara antara Jokowi dan Prabowo pada 2014 merupakan yang paling tipis di antara pilpres sejak 1998, menandai ketatnya persaingan antara kedua kubu.
Keengganan Prabowo mengakui kekalahannya pada pilpres 2014 diduga menjadi pemicu keberlangsungan segregasi politik sepanjang masa pemerintahan Jokowi 2014-2019.