Oleh : Rendra (Kurator Museum Rakyat HSS)
Perempuan pada umumnya apalagi di masa kolonial hidup dalam ruang sosial yang penuh keterbatasan, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan. Di tengah dominasi budaya dan patriarki serta kebijakan diskriminatif pemerintah kolonial Belanda, perempuan sering kali diposisikan hanya sebagai pengurus rumah tangga dan pendamping suami. Di Kalimantan Selatan kita dapat menyorot bagaimana pendidikan dan perempuan dan perannya terhadap perjuangan bangsa di masa itu.
Mendengar Kalimantan tentu "umumnya' di Indonesia akan berpikir sebuah daerah yang diselimuti hutan, rumah-rumah tradisional dengan kehidupan yang jauh lebih tertinggal seperti apa yang ada di Jawa ataupun di Sumatera terlebih itu di masa kolonial Hindia-Belanda. Perspektif itu sangat wajar mengingat orang berfikir Kalimantan umumnya hanya di huni oleh suku-suku yang jauh dari kata modern berdiam di hutan-hutan atau dirumah panjang yang jauh dari hiruk pikuk modernisasi.Â
Berbeda dari anggapan umum, Kalimantan Selatan pada masa silam bukanlah wilayah terisolasi. Wilayah ini pernah menjadi pusat peradaban besar melalui eksistensi Kerajaan Daha dan Kesultanan Banjar yang menguasai sekitar tiga perempat wilayah Pulau Kalimantan---kecuali daerah yang kini menjad wilayah negara Brunei dan Malaysia. Letaknya yang strategis di seberang Laut Jawa, berhadapan langsung dengan Surabaya, menciptakan corak budaya dan sosial yang unik dan khas, berbeda dari wilayah Kalimantan lainnya.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, pendidikan bagi perempuan di Kalimantan Selatan berada dalam posisi marginal, baik dari aspek akses maupun perhatian negara kolonial. Sekolah-sekolah pemerintah seperti Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau Europese Lagere School (ELS) secara umum hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu---anak pejabat, bangsawan, atau keturunan Timur Asing, terutama laki-laki. Perempuan dari kalangan bumiputera awal jarang mendapatkan dari kesempatan tersebut hal ini juga didukung oleh stigma pada masyarakat di kampung-kampung. Meskipun demikian, di beberapa wilayah yang mulai membuka kelas bagi santriwati, terutama di lingkungan pesantren dan sekolah-sekolah Islam milik organisasi keagamaan seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Musyawaratutthalibin. Para tuan guru dan elite agama yang berpikiran maju memegang peran penting dalam mendorong terbukanya akses pendidikan untuk perempuan, tak hanya itu melalui organisasi-oraganisasi Islam tersebut perempuan juga mulai ikut aktif dalam berorganisasi contohnya salah satu organisasi yang secara khusus melibatkan kaum perempuan adalah SI Dunia Isteri, yang dibentuk pada tahun 1923 di Banjarmasin. Organisasi ini berada di bawah naungan Sarekat Islam (SI) dan dipimpin oleh seorang tokoh perempuan bernama Masiah. Kehadiran SI Dunia Isteri merupakan cerminan dari upaya untuk memobilisasi potensi perempuan, terutama para istri anggota dan tokoh SI, dalam mendukung perjuangan sosial-politik melawan penjajahan. Meskipun bukan organisasi yang berdiri independen, SI Dunia Isteri berperan sebagai pelopor organisasi kewanitaan pertama di Kalima.ntan Selatan. Dukungan terhadap pembentukannya bahkan datang langsung dari Centraal Sarekat Islam (CSI) di Jawa, yang sebelumnya telah membentuk Sarekat Islam Wanodya Utomo di Surabaya di bawah kepemimpinan R. Ayu Cokroaminoto (Wajidi, 2017).
Tokoh seperti Masiah, yang memimpin SI Dunia Isteri di Kalimantan Selatan, menjadi contoh keterlibatan aktif perempuan Banjar dalam gerakan sosial-politik. Walau dokumentasi peranannya tidak sebanyak tokoh seperti R.A. Kartini, Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), atau Maria Ulfah Santoso dari Jawa, keberadaannya memperlihatkan bahwa semangat emansipasi dan nasionalisme tidak hanya hidup di pusat kekuasaan kolonial, tetapi juga di wilayah-wilayah yang kerap dipandang pinggiran. Perempuan Kalimantan Selatan, melalui organisasi seperti SI Dunia Isteri, telah menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar pendukung pasif, tetapi bagian dari pelaku sejarah yang ikut menggerakkan roda perubahan.
Daerah Hulu Sungai, khususnya Barabai dan sekitarnya, juga memiliki kontribusi penting dalam sejarah pendidikan Islam dan pembentukan kesadaran kebangsaan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Salah satu yang menonjol adalah pendirian Persatuan Perguruan Islam (PPI) yang berpusat di Pantai Hambawang dan berkembang di berbagai wilayah seperti Haruyan, Birayang, Kandangan, dan Amuntai. PPI yang didirikan oleh alumni Universitas Al-Azhar dan Madrasah Ash-Sholatiyah Makkah ini bertujuan menyatukan sistem pendidikan Islam yang semula bersifat terpisah dan tidak seragam. Sekolah-sekolah di bawah PPI mengajarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga pengetahuan umum dengan sistem klasikal yang modern untuk zamannya. Dalam proses belajar mengajar ditanamkan semangat kebangsaan dan penolakan terhadap penjajahan, menjadikan PPI sebagai basis pencetak kader-kader nasionalis dari pedalaman Hulu Sungai
Perempuan dalam sejarah Kalimantan Selatan cukup mendapat tempatnya dalam narasi sejarah---jika kita melihat lagi pada masa sebelumnya di Kalimantan Selatan pernah ada seorang permaisuri Sultan yang amat berpengaruh bernama Nyai Ratu Kemalasari. Perempuan dari kalangan Bangsawan menengah di Hulu Sungai yang awalnya menjadi seorang Dayang di Keraton Banjar. Nyai Komalasari muda membuat putra mahkota Banjar terpincut dan menikahinya dan menjadikannya permaisuri.  Dalam beberapa catatan kolonial dari tokoh-tokoh Belanda dan Eropa seperti  A. Van der Ven, Residen Van Hengst, Halewijn dan sang petualang Solomon Muller sang Ratu cantik dari Hulu Sungai ini memiliki perangai sangat licik,  boros, lebih berkuasa dari pada suaminya yang seorang Sultan anggapan itu tentu nanti perlu kita telaah dan teliti lebih lanjut lagi melalui kritik sumber apalagi anggapan itu muncul dari perspektif kolonial namun yang menarik jika kita amati  narasi buruk yang dibangun oleh para pejabat Belanda dan Eropa itu muncul dari "kekalahan" mereka akan "kecerdikan" sang Ratu yang merepotkan dan menghalangi kepentingan politik mereka.
Pandangan miring Belanda terhadap sosok Nyai Ratoe Kemala Sari mungkin tak lepas dari kiprahnya yang berani mempermainkan monopoli perdagangan garam di Kalimantan Selatan. Dalam buku Saudagar Wanita dan Bisnis Garam, Bambang Subiyakto mencatat bahwa pada abad ke-19, garam merupakan komoditas penting di wilayah Kerajaan Banjar, dan mengingat daerah tersebut bukan penghasil garam alami maka dengan peluang tersebut, Kemala Sari dengan cermat membaca pasar. Berbekal darah dagang dari tanah kelahirannya di Amuntai---daerah yang dikenal melahirkan banyak saudagar penguasa jaringan perdagangan lokal di pedalaman Kalimantan---serta posisi Kemalasari yang berada dalam lingkar istana, ia memanfaatkan celah untuk ikut ambil bagian dalam perdagangan ini. Pada tahun 1849 hingga 1850, pemerintah kolonial Belanda tercatat pernah menyita muatan garam dari kapal Bugis yang tengah berlayar menuju Banjarmasin. Langkah itu diduga kuat sebagai upaya menekan jaringan distribusi yang dikendalikan oleh Kemala Sari. Aksi penyitaan tersebut memperlihatkan bagaimana pengaruh Nyai Ratoe dalam lalu lintas niaga mampu membuat resah kekuasaan kolonial yang saat itu mulai memonopoli keluar masuk komoditas di Kalimantan Selatan.Â
Dalam kasus ini kita melihat adanya peran perempuan yang sangat tebal dalam narasi sejarah di Kalimantan Selatan, hal itu sebenarnya tidak juga tabu mengingat dalam mitos kekuasaan di Kalimantan Selatan, perempuan adalah simbol legitimasi kekuasaan yang dimanifestasikan melalui Ratu Junjung buih penguasa kawasan perairan serta perwujudan dari Jata (dewi Penguasa alam bawah-periran) yang juga merupakan leluhur puncak dari penguasa dan para raja di Kalimantan Selatan.Â