Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kab. Hulu Sungai Selatan - Kalimantan Selatan Pemerhati Budaya dan Sejarah Pemandu (khusus) Museum Rakyat Kab.Hulu Sungai Selatan Pembina komunitas Dapur Budaya HSS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kata-mangata (Do'a dalam Syair dan Pantun Berbahasa Banjar)

21 Oktober 2023   16:02 Diperbarui: 22 Oktober 2023   15:31 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu cover catatan "kata-mangata" Banjar milik seorang ulama di Rantau-Tapin (dokumentasi penulis)

Rendra.

TACB Kab. HSS, Pembina Komunitas Dapur Budaya HSS.

Pada masa awal masuknya Islam di Nusantara terutama di daerah Kalimantan Selatan tidak serta merta merubah semua aspek kebudayaan lokal menjadi "pure" mengadopsi tradisi yang bernuansa Timur Tengah.

Para pengislam cukup fleksibel dalam membaurkan dan mengintegrasikan nilai-nilai keislaman kedalam sebuah tingkah laku dan perbuatan masyarakat lokal. Dalam komunitas masyarakat Islam pribumi sudah barang tentu telah menerima hal-hal yang dilarang mutlak di dalam aturan syariat Islam terutama terkait "hukum" yang disepakati oleh semua kalangan. Seperti terkait tentang pelarangan memakan babi, khamar atau aturan hukum yang jelas tentang siapa saja yang boleh dinikahi dalam agama Islam.

Bagitupun dengan hal-hal lain yang tidak memiliki urgensi primer terkait hukum dalam Islam khususnya pada masa-masa awal penetrasi Islam pada masyarakat baru yang sebelumnya terdiri dari masyarakat awam dan pribumi non muslim di masa lalu.

Kalimantan Selatan yang kemudian hari dikenal dengan masyarakat (Islam) yang amat religius dimana juga memiliki tinggalan kebudayaan lokal yang kental akan tradisi-tradisi berbau Islam didalamnya. 

Salah satu tradisi yang masih hidup pada masyarakat Banjar hingga sekarang adalah tradisi kata-mangata (juga disebut "bacaan") yang pada umumnya digolongkan kepada salah satu bentuk Mantra lokal di Nusantara. Dalam kebudayaan Banjar setidaknya ada beberapa jenis tujuan dalam "mantra Banjar" yang umum dikenal yakni jenis Kariau (memanggil), panyumbi (kekuatan), mamang (panggilan roh leluhur), pandaras (kekuatan pukulan), pambanci (membuat kebencian), pambungkam (untuk membungkam), tutulak (pencegah/penolak), tatawar (penawar), tundung hantu (pengusir hantu) panyangga (penahan), Papikat (pemikat), Pirunduk (penakluk).

Secara spesifik Kata atau kata-mangata dalam tradisi Banjar lebih merujuk kepada doa yang diucapkan dalam bentuk syair atau pantun dengan rima pada kalimatnya. Ada banyak jenis dan tujuan kata-mangata sesuai dengan keperluan dan keinginan si pemakainya, seperti :

1. Kata Maras

2. Kata Hambar

3. Kata Bungas

4. Kata Yusuf

5. Kata Panah Arjuna

6. Dll

Umumnya penggunaan rangkaian kalimat-kalimat pengundang "tuah" yang dirapalkan itu, merujuk kepada terminologi yang kita kenal dan kerap kita generalkan dengan sebutan "Mantra" yang di konotasikan sebagai "magic-spell".

Walaupun kata-mangata masuk dalam kategori "Mantra" namun bukan melulu mengarah kepada sesuatu hal yang negatif atau dengan anggapan sebuah sihir. Kata mangata disini lebih dekat kepada sebuah "doa".

Mantra sendiri adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa sangsekerta yang artinya "doa" atau "pengharapan". Selaras dengan perspektif kata-mangata dalam tradisi masyarakat Banjar, yaitu sebuah doa yang diucapkan dalam bentuk syair atau pantun dengan rima yang indah.

Contohnya :

1. Pur sina pur kaladi baguyangan. Bismillah aku bapupur urang/(si...) Karindangan. Berkat Laillahaillah Muhammadarasulullah

2. Bismillah, Naga Ulit, Naga Umbang, Naga Pertala. Taguh di kulit, taguh di tulang sampai ka kapala. Berkat Lailalahaillah Muhammadarasulullah

Kata yang pertama (1) adalah bacaan/doa perempuan Banjar ketika memakai bedak. Sedangkan yang kedua (2) bacaan/doa orang Banjar yang diharapkan membuat tubuhnya kuat dan memiliki ketahanan terhadap senjata maupun pulukan.

Dalam tradisi Banjar kata-mangata kebanyakan/hampir semua diawali dengan "Bismillah" dan diakhiri "Berkat Laillahaillah Muhammadarasulullah". Penggunaan unsur Basmalah dan kalimat syahadat menegaskan kata-mangata adalah sebuah doa (bukan sihir) bahkan sangat di tekankan oleh yang memberi doa itu kunci tuahnya berada pada kalimat terakhir "Berkat Lailahaillah Muhammadarasulullah", atau jika kita lihat dari unsur filosofis maka kalimat tauhid di ujung merupakan penegasan akan "berkat" dari karna kesaksiannya akan keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW dimana justru kata-mangata erat dengan unsur ke-Tauhidan.

Mengutip Alfianoor (Andin Alfi) Mantra/Kata yang asli berbahasa Banjar dapat dikatakan berasal dari sebelum kedatangan Islam, tetapi setelah kedatangan Islam "mantra" tersebut bercampur dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalam tradisi kata-mangata atau "Mantra Banjar" kita juga akan menemukan jenis kata/mantra yang terdiri dari perpaduan antara unsur ayat Al-Quran dengan rima pantun yang mengarah kepada tujuan mantra/kata tersebut "dibacakan".

Contoh :

1. Idz qoola yuusufu li,abiihi yaa abati innii ro,aitu ahada 'asyaro kaukabaw wasy syamsa wal qomaro ro,aituhum lii saajidiin

Tukalas tukaning kasih tukaning sayang tunduk maras raga badan lawan umbayang, rabah rubuh imannya hanya kepadaku berkat Laillahaillah Muhammadarasulullah.

Unsur ini cukup unik karena ada penggunaan ayat-ayat Al-Qur'an dalam mantera tersebut berpadu dengan syair pantun berbahasa lokal.

Namun ada yang menarik, tidak semua ayat Al-Qur'an dalam mantera Banjar mempunyai makna tegak lurus antara arti dan tujuan si mantra/kata tersebut. Hal tersebut nampaknya seperti sebuah "cocoklogi" yang bertumpu pada konsonan bunyi pada ujung kalimat Mantera/kata untuk menyesuaikan rima tanpa memperdulikan makna dan arti dari ayat tersebut.

Mengutip Alfinoor (Andin Alpi) Bentuk "mantra/kata" tersebut berasal dari pengambilan secara paksa bahasa al-Qur'an menjadi bahasa Banjar atau yang sering disebut juga dengan istilah "tafaul" adalah pengambilan bahasa Arab secara utuh kedalam bahasa Banjar, tanpa ada penerjamahan arti sebenarnya dari bahasa Arab tersebut, hal ini dilakukan hanya untuk mengambil berkah saja, bisa dikatakan pengambilan ini diambil secara paksa tanpa melihat aturan-aturan tata bahasa.

Contoh :

Pipik dianak pipik, Tarbangnya ka lautan tulang, Titik manjadi titik, Banyunya titik, Banyunya disungai lautan pulang. Wa la saufa yu tika rabbuka fatarda.

Menurut Andin Alpi arti sebenarnya dari kalimat Wa la saufa yu tika rabbuka fatarda tidak dihiraukan

dan tidak dipakai dalam mantra ini, namun justru kata Wa-la-sau ditafaulkan ke bahasa Banjar menjadi "walasau" yang artinya adalah deras. 

Contoh Lain :

Bismillahirrahmanirrahim, Qulhuallahu ahad ,tahan dipukul, tahan dipahat, Berkat Laillahaillah Muhammadarasulullah

Menurut Alpinoor, ayat yang terkandung dalam mantra ini bisa ditemukan di surah Al-Ihlas ayat 1 dan jenis kata-mangata bercorak pantun, dan seperti isi dari pantunnya, mantra ini digunakan sebagai mantra tahan dipukul dan juga tahan dipahat, baik oleh pukulan maupun senjata, adanya ayat al-Qur'an disana adalah sebagai pengambilan berkah saja.

Dalam tradisi masyarakat Banjar ada beberapa jenis mantra bacaan yang sifatnya "kiri" untuk mencelakai, mendatangkan bala, kebencian, penyakit yang kadang digolongkan dengan "bacaan kakiri". Kadang dengan isi kalimat berupa pujaan terhadap unsur/mahluk tertentu. "Kiri" dalam istilah disini merujuk kepada kesesatan atau ilmu hitam.

Bahkan untuk sebuah mantra yang kandungannya adalah pemanggilan mahluk-mahluk (jin) tertentu atau roh-roh leluhur, pengucapan syukur kepada roh atau dewata lebih kepada menggunakan terminologi kuno yang disebut "Mamang".

Sedangkan "Bamamang" adalah suatu proses perapalan mantra-mantra tersebut.

Kalau kita lihat dalam perspektif yang lebih luas. Kata-mangata dalam sudut pandang yang positif adalah prilaku masyarakat adat Banjar dalam memanjatkan doa berbahasa Melayu Banjar dengan tradisi syair dan pantun. Namun ketika unsur Islam masuk dalam kebudayaan Banjar, cara berdoa dengan indah dalam bahasa lokal banjar itu pun ikut terpengaruh oleh unsur Islam seperti pengucapan Basmalah dan Kalimat Syahadat.

Jika pada zaman dahulu kata-mangata atau mantra merupakan sebuah susunan kalimah indah yang mengandung tujuan, permohonan /doa tertentu yang diucapkan dengan bahasa Banjar, kemudian disini dapat kita fahami tradisi tersebut dalam perspektif budaya dan sejarah merupakan bagian dari hasil integrasi Islam pada aspek-aspek tertentu di masyarakat nusantara yang umumnya bersifat fleksibel. Bersandar pada tidak semua masyarakat dari berbagai golongan bisa, hafal dan fasih doa-doa berbahasa arab dan tentu (bahkan) sampai hari ini pun disengaja atau tidak kita pun sering "mengucapkan/memanjatkan doa/permohonan" dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun