Mohon tunggu...
Ahmad Mubarak
Ahmad Mubarak Mohon Tunggu...

Forum Intelektual Muda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Realitas Wanita Pemandu Karaoke

7 November 2014   02:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 9414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maryati(bukan nama asli) baru pulang saat fajar mulai terbit. Badannya lemas dan lunglai. Alkohol yang ditengaknya beberapa jam lalu,masih menyisahkan pening di kepala. Maryati tertidur pulas. Ditemani sepi yang menelanjangi di tengah ramai pinggiran kota.

Pukul tiga sore ketika senja datang,seperti biasa Maryati mulai merias dirinya agar terlihat cantik dan menarik. Wajahnya yang manis serta usianya yang muda,nampak jelas,diantara serpihan bedak-bedak yang melumuri pipinya. Beberapa jam lagi Maryati harus kembali ke kehidupan aslinya. Menampakan muka ramah dengan senyum menggoda,agar para pengunjung karaoke mau  menyewanya untuk menenemani bernyanyi dan menghabiskan malam yang sepi. Bernyanyi sampai pagi,bergoyang seksi serta menengak berbotol-botol minuman alkohol adalah hal yang biasa buat Maryati. Baginya,itulah kehidupan yang harus dijalani setiap hari. Kehidupan membuat Maryati menjadi wanita-wanita penghibur yang entah kapan hidupnya akan berubah. Maryati tetap berharap. Harapan yang tipis. Setipis kabu-kabut yang dilihat  Maryati saat di pagi hari…

Cerita diatas mungkin juga dialami oleh wanita lain ditempat yang sama. Tempat salah satu hiburan malam yang popular : 'Karaoke'. Modernitas yang tinggi,membuat hiburan seperti karaoke menjamur begitu cepat. Selain menawarkan kenikmatan ‘sesaat’,usaha karaoke juga membuka peluang kerja bagi para wanita-wanita seperti Maryati. Tanpa harus bersusah payah,pekerjaan menjadi Ladies Companion (Pemandu Karaoke/PK) memberikan upah yang tinggi. Hanya bermodalkan tubuh yang ‘aduhai’ mereka mampu bertahan ditengah tuntutan hidup yang 'hedonis' dan 'konsumeris'. Maryati adalah salah satu contoh dari sekian banyak LC yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia.

Dalam perspektif bisnis,kehadiran seorang LC menjadi magnet yang paling diburu oleh kaum pria,khususnya para pria pecinta ‘wisata malam’. Tanpa LC,berarti "makan sayur tanpa garam". Pemilik usaha karaoke juga tidak segan-segan mengeksploitasi para wanita dibawah umur. Selama bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah,umur bukanlah masalah.

Di masyarakat ,seorang LC adalah pekerjaan kotor. Terkadang mereka menyimpulkan pekerjaan LC tidak lebih hina dari seorang pelacur yang menjajakan diri di lokalisasi. Padahal seorang LC belum tentu seorang pelacur. Tugas pokok mereka menemani pengunjung dan menyalakan ‘euforia’ saat di dalam ‘room’.

Terlepas apapun stigma yang disandang para LC,mereka tetap saja ada di tengah-tengah sosial masyrakat kita. Sama seperti kita,mereka juga memiliki alasan tersendiri yang ‘rasional’. Mungkin bagi rata-rata orang mengenyam pendidikan,mencari pekerjaan layak atau menjalani hidup ‘bersih’ adalah hal yang mudah. Tapi,buat mereka hal-hal seperti adalah istimewa. Bagi mereka hanya orang-orang yang punya latar belakang ekonomi dan sosial yang baik,yang berhak mendapatkannya. Mereka hidup dalam sebuah tekanan yang berat. Terlahir miskin dan tidak berpendidikan tinggi jelas bukan pilihan mereka. Namun,hidup harus terus berjalan dan perut harus terisi. Menjadi LC,adalah sebuah harapan yang besar. Meski,hanya harapan itu saja yang bisa mereka lihat. Kalaupun ada harapan lain,mungkin harapannya begitu tipis dan manusia akan memilih peluang yang paling menguntungkan. Harapan hidup mereka jatuh pada pilihan menjadi seorang LC,menjadi wanita dengan konsekuensi sosial yang tinggi, serta menjadi wanita yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Seorang LC tetaplah wanita biasa. Dalam hatinya terselip asa bahwa suatu hari nanti dia bisa menjalani kehidupan normal seperti wanita lain. Memiliki anak serta suami yang mencintainya setulus hati,berbelanja pakaian di mall bersama keluarga dan juga menjadi seorang ibu. Harapan itu akan selalu ada. Jauh di lubuk hati kecilnya. Dia sadar menjadi LC adalah pilihan sulit. Jika dia mencoba jalan lain,mungkin jalan itu terjal dan suatu saat dia bisa terjatuh dan akhirnya mati dimakan zaman yang tidak mau kompromi dengan manusia. Jika dia tetap menjadi seorang LC. Dia akan di‘judge’ oleh masyarakat dan juga akan menjadi wanita kesepian karena hanya pria ‘tolol’ yang mencintai seorang LC. Namun, dia tidak akan lelah berharap. Disela-sela bekerja,dia selalu berdoa agar ada pria ‘tolol’ yang mencintainya setulus hati yang akan membawanya pergi ke kehidupan yang lain. Kehidupan seperti wanita normal. Yang buat dia,berarti kehidupan yang sangat spesial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun