Mohon tunggu...
Ahmad Jumadil
Ahmad Jumadil Mohon Tunggu... Fungsional Penata Kelola Pemilihan Umum dan Pemerhati Pemilu

Saya anak tertua dari dua bersaudara. Menjadi pelajar di Universitas Islam Bandung selama 4 tahun setengah sebelum memutuskan untuk pulang kampung dan bekerja di Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Buzzer dan Premanisme Digital

3 Juni 2025   17:28 Diperbarui: 3 Juni 2025   17:28 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini cara kerja buzzer lebih mirip preman di banding dengan orang-orang professional. Sebagaimana kita tahu preman merujuk pada individu atau kelompok yang menggunakan, kekerasan, intimidasi, bahkan ancaman dalam mencapai tujuannya. Cara yang di pakai oleh preman biasanya diluar cara dan aturan yang berlaku. Preman sering terlibat dalam kegiatan seperti meminta uang keamanan, menguasai lahan secara ilegal, menakut-nakuti masyarakat, menjadi kaki tangan kelompok atau kepentingan tertentu.

Kini, ciri-ciri tersebut hampir serupa dengan perilaku yang di tunjukkan oleh buzzer. Seperti dalam laporan kompas, perilaku buzzer makin merajalela dari urusan yang kecil hingga isu nasional. Mereka akan menyerang atau membela siapapun dengan syarat mereka di bayar untuk melakukan itu.

Investigasi kompas menyebutkan para buzzer bekerja dengan tarif jutaan rupiah. Pengaruh mereka dibangun melalui jejaring yang luas dan di dukung teknologi. Tugas mereka ialah membuat viral, membelokkan narasi, membuat opini publik serta mengintimidasi target dan lawan mereka.

Buzzer berubah dari muka ramah yang menawarkan produk menjadi wajah yang menyeramkan yang siap menerkam lawan-lawan mereka. Mereka sering menyebar data pribadi, memprovokasi, hingga mengkreasi dan menyebarkan disinformasi. Yang paling parah adalah mereka dapat membunuh kararter seseorang, baik itu publik figur hingga masyarakat biasa.

Pasukan buzzer menyasar akun-akun yang berani bersuara terhadap instansi atau entitas bisnis tertentu. Mereka akan di serang dengan teror, komentar hate speech, serta fitnah yang membuat akun tersebut rusak reputasi, serta mengguncang psikis. Ketakutan yang dialami di dunia maya mewujud hingga ke dunia nyata.

Serangan terhadap target-target mereka di media sosial merupakan sebuah jurus untuk menggebuk lawannya agar jatuh tak berdaya. Jika di dunia nyata preman menggebuk musuh dengan kayu, bambu atau batu, di dunia maya preman digital menggebuk lawannya dengan serangan-serangan yang berbentuk viral, komentar-komentar hate speech, serta fitnah-fitnah tadi.

Untuk mencegah premanisme digital dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh di semua level negara. Platform digital, masyarakat sipil, negara dan individu harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk bisa mencegahnya.

Pihak pemerintah untuk terus menyempurnakan regulasi dan pengakan hukum di dunia digital. Platform digital harus lebih peduli dan bertanggungjawab terhadap efek-efek negatif dunia digital. Di sektor publik harus di perbanyak literasi digital mulai dari tingkat yang paling bawah. Terakhir harus ada perlindungan yang cukup terhadap korban-korban dari premanisme digital.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun