Kadang, jejak itu berupa firasat halus yang membimbing kita menjauhi hal yang tampak menguntungkan tetapi merusak. Kadang, ia muncul sebagai rasa tenang di satu jalan dan rasa berat di jalan lain. Dan sering kali, jejak cahaya ini mengarahkan kita menuju lorong-lorong sunyi, di mana dunia luar tidak lagi bising, sehingga suara batin terdengar jelas.
Lorong-Lorong Sunyi dalam Tradisi Jiwa
Dalam Islam, lorong sunyi ini mirip dengan momen khalwah—menyepi untuk membersihkan hati. Rasulullah ﷺ menemukan wahyu pertama bukan di tengah pasar Mekkah, tetapi di Gua Hira, di sunyi yang dipilih dengan sengaja.
Di Nusantara, para leluhur kita mengenal laku tapa brata atau tirakat. Di dunia pesantren, santri yang ingin memperdalam ilmu akan melewati masa-masa suluk—berdiam dalam ibadah untuk membuka mata hati. Semua ini mengajarkan bahwa ada ruang di dalam diri yang hanya bisa kita masuki saat kita rela meninggalkan kebisingan luar.
Lorong sunyi tidak selalu berarti kesendirian fisik. Ia bisa berarti menenangkan pikiran di tengah keramaian, membebaskan hati dari riuhnya kabar buruk, atau bahkan hanya duduk beberapa menit sebelum subuh, membiarkan dunia hening dan jiwa bicara.
Mengikuti Jejak dengan Kesabaran
Jejak cahaya itu bukanlah garis lurus. Kadang kita berjalan di jalan yang terang, kadang kita masuk ke tikungan yang gelap. Di sinilah kesabaran menjadi kunci.
Allah berfirman:
“Dan bersabarlah bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya, dan janganlah matamu berpaling dari mereka karena menginginkan perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Ayat ini mengajarkan bahwa kesabaran tidak hanya berarti menahan diri dari marah atau kecewa, tetapi juga kesetiaan untuk tetap berada di jalan cahaya, meskipun terasa lambat, sunyi, atau tidak dilihat orang.
Sunyi yang Menguatkan