Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#5)

11 April 2021   10:10 Diperbarui: 11 April 2021   10:10 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(memorydrawing.com)


Saat bersamaan, pola pikir transaksional menjalar bebas. Ingin anak pintar dan cerdas, jawabannya tentu saja sekolah elit. Seperti halnya beli barang kalau mau bagus dan berkualitas, tentu saja harganya tidak murah. Bagi mereka, pendidikan terbaik adalah yang mahal.

Pemikiran seperti ini bukan tidak berisiko. Merasa sudah menggelontorkan dana yang besar, si orangtua tentu tak mau rugi dan dengan segenap hati menyerahkan sepenuhnya pendidikan sang anak ke sekolah. Sebagai gantinya, sekarang giliran sekolah yang memberikan hasil dan bukti konkret kepada orangtua. 


Pada titik ini hubungan yang terbangun terlihat sinergis dan saling menguntungkan. Namun kondisi yang tampak baik itu sesungguhnya karena dilandasi oleh faktor uang. Cara pandang materialistis seperti ini pada dasarnya telah mereduksi hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Tidak sedikit masalah yang muncul akibat paradigma sempit ini. 


Dalam pendidikan berwatak materialistis, martabat guru tanpa disadari tercederai. Guru kerap hanya dipandang sebagai sebatas pengajar bukan pendidik. Guru digaji seolah hanya sebatas pemberi kepuasan jasa semata kepada murid. Ukuran keberhasilan guru hanya dilihat dari nilai atau prestasi akademis murid. 


Selain itu, guru terkadang tidak leluasa atau segan saat hendak menegur murid yang berulah atau bandel. Karena muncul kekhawatiran terhadap kepentingannya, menempatkan guru pada pilihan yang serba salah. Menyebabkannya tidak dapat berbuat banyak. Kemudian menganggapnya sebagai tugas atau tanggung jawab dari guru konseling semata. 


Dalam pendidikan bertabiat  materialistis, orangtua seringkali merasa cukup atau puas hanya dengan didikan yang diterima anak dari sekolah. Lalu berlepas diri dan menganggap tugas mereka sebagai orangtua sudah selesai karena telah membayar biaya pendidikan yang mahal. Bahkan muncul perilaku otoriter untuk menekan atau memaksa anak agar menuruti keinginan orangtua secara sepihak, tertutup, dan koersif. 


Pendidikan hakiki adalah yang memanusiakan manusia. Pendidikan seutuhnya tak hanya membuat anak pintar secara akademis tapi juga berbudi baik, luhur, dan terpuji. Pendidikan idealnya sinergi antara sekolah dan keluarga yang saling mendukung  dan menguatkan. Keduanya berperan penting dalam keberhasilan pendidikan dan kehidupan seorang anak di masa depan. 


Guru sebagai wakil orangtua di sekolah tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan tapi juga kloning kepribadian. Guru adalah contoh dan teladan bagi anak ketika di sekolah baik dalam hal ilmu maupun perilaku. Bagi guru, ini jelas tugas yang tidak main-main karena amanah yang diemban tidaklah ringan. Sehingga wajar kiranya jika si anak kemudian berhasil, pantaslah guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. 


Begitu pula orangtua. Sebagai orangtua sesungguhnya di rumah, harus mampu jadi role model bagi anak. Tidak hanya mengandalkan guru di sekolah, orangtua juga semestinya mendidik dan mengajari anaknya sendiri. Meneladankan dan mempraktikkan nilai-nilai moral dan spiritual ke anak dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan dialog, interaksi, dan komunikasi dengan anak. Sehingga diharapkan tercipta kedekatan atau ikatan lahir maupun batin antara orangtua dan anak.
 
Pendidikan yang berat sebelah dan kelengahan orangtua dituding sedikit banyak memiliki andil terhadap kondisi Erika yang sekarang. Begitu pelik masalah yang merundungnya, membuat pikiran dan perasaannya sangat terguncang. Pada titik ini hampir-hampir ia tak sanggup lagi menyembunyikan apa yang sedang menderanya. Namun ia terus berusaha menguatkan dirinya. Sampai suatu saat ini semua tidak mungkin bisa ditutupi lagi. 


Di usia kandungannya yang sudah tiga bulan lebih, perlahan tapi pasti perubahan biologis, hormonal, dan psikologis berlangsung dalam dirinya. Beruntung hobi berolahraga selama ini dilakukan sedikit membantu dalam menyamarkan perutnya yang tampak mulai bumping. Namun agak sulit menutupi gejala mual dan muntah yang muncul walaupun jarang ia rasakan. 


Setelah pertemuan terakhirnya dengan Tomi, Erika kian hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Mengharap ada sedikit titik terang, namun hanya kegelapan meliputinya. Seakan membentur tembok tebal dan tinggi, ia terpaksa menghadapi ini semua seorang diri karena dirinya maupun Tomi ngotot pada pendiriannya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun