: Kolonel Ahmad G Peneliti Madya (Bidang Strategi Pertahanan)
Pernyataan Menteri Pertanian bahwa Indonesia akan mencapai swasembada pangan dalam dua bulan ke depan menarik perhatian publik. Di tengah naiknya harga beras dan melonjaknya impor, klaim ini terdengar seperti janji revolusioner. Namun di balik optimisme tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah target ini realistis, atau sekadar ambisi politik di tengah tekanan global?Swasembada bukan hanya soal menanam dan panen. Ia adalah sistem besar yang mencakup produksi, distribusi, teknologi, logistik, pasar, dan daya tahan kebijakan terhadap gangguan. Dalam dua bulan, semua itu harus bergerak secara simultan, tanpa salah satu rantai terputus. Di sinilah ujian besar Kementan dan seluruh pemangku kepentingan bangsa.
1. Realitas Lapangan: Lahan, Benih, dan Cuaca
Indonesia masih menghadapi tantangan struktural yang tidak kecil. Alih fungsi lahan pertanian, keterbatasan pupuk bersubsidi, dan cuaca ekstrem menjadi batu sandungan klasik. Banyak daerah yang produktivitasnya menurun akibat irigasi rusak atau tanah menurun kesuburannya.
Untuk mencapai swasembada dalam waktu sependek itu, pemerintah perlu memastikan:
- Lahan produktif tidak terganggu dan siap tanam;
- Ketersediaan benih unggul dan pupuk tersalurkan tanpa hambatan;
- Koordinasi dengan pemda berjalan cepat, terutama dalam distribusi dan pengawasan harga.
Tanpa tiga elemen dasar ini, target dua bulan bisa berubah menjadi retorika semata.
2. Indonesia: Negara Konsumen di Tengah Persaingan Global
Sebagai negara konsumen besar, Indonesia adalah pasar menggiurkan bagi eksportir pangan dunia. Ketika pemerintah mengumumkan rencana swasembada, jangan heran bila ada pihak yang terganggu---baik pemain impor besar, mafia logistik, maupun spekulan harga yang diuntungkan oleh ketergantungan pangan luar negeri.Swasembada berarti mengurangi ketergantungan itu, dan secara ekonomi bisa mengguncang kepentingan besar. Karena itu, tidak menutup kemungkinan ada upaya sabotase halus: menimbun stok, memperlambat distribusi pupuk, atau menyebar narasi pesimis di media. Semua ini adalah ujian kedaulatan pangan sekaligus ujian moral nasional.
3. Antara Harapan dan Hambatan
Secara konsep, percepatan produksi pangan bisa dicapai dengan langkah-langkah berikut:
- Intensifikasi lahan produktif dengan teknologi irigasi tetes dan digitalisasi pertanian (sensor air, pupuk presisi).
- Mekanisasi cepat: gunakan traktor modern, drone pertanian, dan sistem distribusi berbasis data real-time.
- Optimalisasi lahan tidur dan rawa di Sumatera dan Kalimantan.
- Sinkronisasi dengan TNI dan Pemda dalam operasi serentak tanam--panen untuk mengurangi keterlambatan.
- Cadangan pangan nasional (buffer stock) sebagai jaminan bila cuaca ekstrem atau hama menyerang.
Namun langkah-langkah ini memerlukan konsolidasi antar lembaga  bukan hanya Kementan, tetapi juga PU, Bulog, BUMN Pangan, dan TNI. Bila ego sektoral masih menguasai birokrasi, maka target dua bulan hanya menjadi mimpi di atas meja rapat.Perlu koordinasi masyarakat dan agen -- agen negara untuk menangkal upaya musuh negara melemahkan usaha suci ini,
4. Strategi Bertahan dari Gangguan
Untuk memastikan swasembada tidak diganggu, tiga strategi utama diperlukan:
- Transparansi distribusi dan logistik. Jalur pupuk, benih, dan beras harus bisa dilacak secara digital sehingga tidak ada ruang permainan atau penimbunan.
- Perlindungan harga petani. Bila harga jatuh akibat manipulasi pasar, semangat produksi langsung padam. Pemerintah harus menjamin harga dasar gabah tetap stabil.
- Stabilisasi impor. Impor boleh dilakukan hanya untuk buffer, bukan untuk melemahkan harga lokal. Regulasi ini perlu dikawal dengan keberanian politik.
5. Etika Pangan: Bekerja Keras, Bukan Bermain Harga
Dalam Islam, kemandirian pangan adalah bagian dari izzah---kemuliaan bangsa. Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil..." (QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini menegur keras praktik mencari keuntungan lewat cara batil, termasuk permainan harga dan manipulasi pangan. Rasulullah SAW juga bersabda:
"Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang selain dari apa yang ia usahakan dengan tangannya sendiri." (HR. al-Bukhari 2072)
Artinya, keberkahan pangan datang dari kerja keras petani, bukan dari spekulasi atau impor berlebihan. Negara yang ingin mandiri harus menghormati keringat para petaninya.
6. Penutup: Dari Ambisi ke Aksi
Mencapai swasembada dalam dua bulan memang berat, tapi bukan mustahil  jika bangsa ini bergerak bersama, bukan saling curiga. Pemerintah butuh dukungan rakyat, rakyat butuh kejelasan arah. Bila semua bergerak serempak, setidaknya fondasi menuju swasembada yang berkelanjutan bisa dimulai.Namun bila klaim dua bulan hanya menjadi narasi politik, kita akan kembali pada siklus lama: surplus semu, impor berulang, dan petani kecewa dan perlu solusi dan penegakan hukum bagi pelaku pertanian agar terlindungi dari mafia - mafia agen asing yang akan melemahkan upaya Menteri keuangan yang terbaik untuk bangsa.
Kemandirian pangan bukan sekadar target waktu, tapi ujian karakter: apakah kita bangsa pekerja keras, atau sekadar konsumen yang hidup dari pasokan orang lain yang di motori oleh agen -- agen asing yang berupaya menurunkan wibawa bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI