Mohon tunggu...
Ahmad Gufron
Ahmad Gufron Mohon Tunggu... peneliti madya

menulis dan analisa politik, ekonomi dan pertanian, hukum agama islam

Selanjutnya

Tutup

Politik

000 kenapa nepal negoisasi jadi terkunci diplomasi jalannya yang menkan

12 September 2025   09:40 Diperbarui: 12 September 2025   09:40 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gelombang demonstrasi yang berulang muncul di Nepal bukan sekadar potret keresahan rakyat terhadap kebijakan pemerintah, melainkan juga cermin rapuhnya komunikasi politik. Jalanan  di negeri kerap berubah menjadi arena diplomasi rakyat, sementara meja perundingan resmi kehilangan daya tawar. Pertemuan antara pemerintah yang kaku menegakkan aturan dan pendemo yang agresif melahirkan kebuntuan massif, menjadikan demokrasi Nepal berjalan di jalan raya yang luas, tetapi lumpuh di ruang negosiasi.Pemerintah Nepal sering masuk ke meja perundingan dengan cara pandang birokratis. Negosiasi dianggap cukup sebagai prosedur meredakan ketegangan sesaat, bukan sebagai mekanisme mendengar aspirasi secara mendalam. Posisi pemerintah cenderung top--down, memegang kendali penuh atas agenda terbatas, waktu terbatas, dan format dialog yang kaku. Namun kelemahannya, pemerintah gagal memahami psikologi massa. Tuntutan rakyat lahir dari rasa kecewa terhadap kondisi sosial dan ekonomi, tetapi yang ditawarkan pemerintah justru janji birokratis yang sulit dirasakan langsung. Akibatnya, negosiasi terasa hampa. Pemerintah mengejar stabilitas jangka pendek, sedangkan pendemo menuntut pengakuan legitimasi suara mereka. Jurang perbedaan pun melebar dengan tidak bertepi.

Sebaliknya, para pendemo menjadikan jalanan sebagai panggung diplomasi. Spanduk menjadi "nota diplomatik", orasi menjadi "pidato sidang umum wakil rakyat", dan jumlah massa berubah menjadi "kekuatan militer" yang menekan. Mereka sadar bahwa pemerintah paling takut pada delegitimasi publik. Maka, setiap aksi diarahkan untuk menciptakan kesan krisis legitimasi: blokade jalan, mogok nasional, hingga protes di depan gedung parlemen. Strategi ini menempatkan pemerintah pada posisi defensif. Diplomasi jalanan yang dimainkan pendemo bersifat realis: kekuatan massa dijadikan instrumen utama untuk memaksa kompromi.

Pertemuan dua pendekatan inilah yang membuat negosiasi di Nepal buntu. Pemerintah tak ingin terlihat lemah dengan tunduk pada tekanan jalanan, sementara pendemo enggan berkompromi karena takut aspirasinya dikecilkan. Akhirnya tercipta siklus berulang: protes besar, negosiasi simbolis, janji kompromi, janji gagal, lalu protes kembali membesar. Pola ini berlangsung sejak era monarki, perang sipil Maois, hingga era demokrasi federal. Hasilnya, politik Nepal selalu rapuh.

Kasus Nepal memberi pelajaran penting: seni negosiasi bukan hanya teknik berbicara atau kompromi di atas kertas, tetapi seni membaca emosi kolektif. Pemerintah Nepal gagal menunjukkan empati politik modern. Tuntutan rakyat bukan semata soal ekonomi, tetapi juga perasaan dipinggirkan dan diabaikan secara terstruktur. Tanpa empati, negosiasi menjadi sekadar formalitas. Di sisi lain, pendemo juga sering terjebak dalam diplomasi jalanan yang menekankan tekanan massa tanpa menyiapkan peta solusi yang adaptif. Ketika tuntutan dikabulkan, implementasinya mudah runtuh karena tidak ada rancangan yang jelas.

Pelajaran bagi bangsa Indonesia dapat bercermin dari Nepal. Kita juga sering menghadapi aksi massa besar. Pemerintah seharusnya tidak memandang demonstrasi semata ancaman stabilitas, melainkan kesempatan untuk menyerap suara publik. Negosiasi yang sehat harus berorientasi pada hasil nyata, bukan sekadar pertemuan simbolis. Sebaliknya, demonstran juga perlu mengasah diplomasi substantif: menyiapkan data, argumentasi, dan solusi, bukan hanya mengandalkan tekanan emosional. Dengan cara itu, ruang dialog dan jalanan tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi.

Jika pola Nepal terus dibiarkan, mereka akan tetap terjebak dalam politik instabilitas, di mana satu pihak menang hanya untuk sementara dan pihak lain kembali melawan. Demokrasi sehat seharusnya menghadirkan win - win solution, bukan zero sum game. Jalan tengah hanya akan muncul jika pemerintah membuka ruang negosiasi yang fleksibel dan pendemo bersedia mengubah diplomasi jalanan menjadi diplomasi gagasan. Tanpa itu, demokrasi Nepal akan tetap hidup di jalanan, tetapi mati di meja perundingan.Sehingga banyak menimbulkan korban rakyat sendiri secara sia sia (naudubillah)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun