Mohon tunggu...
Fahri Huseinsyah
Fahri Huseinsyah Mohon Tunggu... Staf Kedutaan Pakistan -

Staf Kedutaan Pakistan Jakarta Pejuang - Pemikir Tertarik : Organisasi Kepemudaan, Politik Domestik & Internasional

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mempertanyakan Konstruksi Radikalisme

15 Maret 2015   18:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:37 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Diskursus tentang Negara Islam sudah digaungkan sejak lama, dan jelas jawaban dari Ulama dan kehendak mayoritas bangsa Indonesia : Tolak. Akan tetapi, tidak lantas kemudian diskursus dan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan merealisasikan konsep tersebut hilang dari peredaran. Radikalisme tanpa sadar telah ada di tengah-tengah kita, utamanya bentuk organisasi. Namun, tidak utuhnya pemahaman untuk mendefinisikan apa itu radikalisme, seringkali membuat  terkecoh untuk memahami dan membedakan, apa itu radikalisme, bagaimana asal-mula dan mengapa disebut radikalisme. Pada akhirnya,  masyarakat sering salah kaprah untuk menangkap suatu fenomena sosial, yang seringkali kemunculanya sangat cepat dan tanpa diduga. Ketika publik dipersatukan oleh isu bersama, adakah sedikit terpikir bahwa keadaan sosial terkadang membuat benih-benih radikalisme itu tumbuh subur dan tidak banyak yang kemudian konsen terhadap hal tersebut. Ini yang sebenarnya menjadi kesadaran yang sudah terbangun secara dominan, dan hegemoni isu mendasari konstruksi radikalisme sebagai sesuatu yang high politic, atau urusan politis yang jauh dari kehidupa public. Oleh karena itu peneguhan akan substansialisme radikalisme menjadi penting agar masyarakat bisa tahu dan menilai, pada sisi mana radikalisme itu menjadi sesuatu yang mengancam, termasuk sebagai tema ideologis yang bersebrangan dengan prinsip kehidupan berbangsa selama ini yang dianut.

Teroris dan Radikalisme

Berdasarkan salah satu penstudi Hubungan Internasional, adalah termasuk dalam klausa terorisme, suatu tindakan yang bertujuan untuk mengancam keselamatan warga Negara, ataupun kedaulatan Negara, yang dilakukan baik secara individual maupun kolektif (berkelompok). Terorisme berkaitan langsung dengan aksi kekerasan, tidak jarang berakhir dengan tindakan yang tidak manusiawi. Terorisme hadir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap tidak hadirnya Negara di tengah-tengah rasa frustrasi dan kekecewaan sebagian kelompok terhadap kinerja pemerintah. Terorisme dapat menjadi ancaman global, karena fenomena tentang aksi terorisme hampir terjadi di semua Negara dalam bentuk dan karakteristik gerakan yang sama. Terorisme dapat pula menjadi ancaman nasional mengingat banyak kasus terorisme di Indonesia terus berlangsung terjadi dan tidak melupakan fungsi pokoknya sebagai gerakan yang dikendalikan oleh suatu kelompok dengan latar belakang kepentingan/motif tertentu. Radikalisme yang dimaksud disini adalah suatu terma yang telah sebelumnya dikonstruksikan : bahwa radikalisme berkaitan erat dengan simbolitas nilai suatu agama (islam) dan kelompok tertentu yang terafiliasi dengan suatu “agama”. Secara laten, penjelasan yang menyangkutkpautkan radikalisme dengan termin kata terorisme, islam & nama seperti Al-Qaeda. Yang kemudian masuk sebagai kesadaran kolektif yang terbangun secara sadar pada masyarakat.

Di siis lain, Radikalisme dapat berarti paham yang member suatu enlighment pada nilai yang paling fundamental untuk diterapkan dan dibangkitkan kembali. Namun, radikalisme dalam keterkaitanya untuk melatarbelakangi terorisme secara bentuk eksekusi masih sangat debatable hingga kini. yang menjadi perbedaan yang signifikan antara terorisme dan radikalisme disini, bahwa terorisme secara tindakan aktual dapat dilihat secara sporadic dan cenderung musiman. Sedangkan radikalisme sebagai sistem pengajaran adalah tetap kontinyu dan sistematis.

Hizbut Tahrir sampai JAT

Hizbut Tahrir memang sudah sejak lama membina basis-basis gerakanya di Indonesia. Sebagai Organisasi “politik” yang mendeklarasikan diri berada di “luar sistem” demokrasi, Hizbut Tahrir Indonesia melalui percabangan gerakanya terus-menerus mengkampayekan pendirian Negara islam (khilafah al-Islamiyah). Nama lain, seperti JAT (Jamaah Ansorut Tauhid) yang terindikasi kuat memiliki jaringan langsung dengan JI dan Al Qaeda, juga tetap ada, atau mungkin juga “dipelihara” dalam kerangka penanaman dan wadah ideologisasi mengenai sebuah penyadaran, bahwa Negara ini diambang kegagalan, atau Pancasila yang merupakan salah satu bentuk “berhala”. Platform gerakan-gerakan tersebut dapat dipastikan tidak menempuh reaksi negatif dari sebagian besar masyarakat. Karena selain tidak ditemukanya kekerasan, yang membatasi agensi kepolisian untuk melakukan tindakan “aktual”. Metoda organisasi radikalis ini bergerak secara halus. Melalui sarana doktrinasi di kelompok-kelompok profesi, mahasiswa dan pengajian. Pembinaan melalui mekanisme kaderisasi untuk melebarkan sayap gerakan dan penciptaan generasi ideologis. Ditinjau dari sudut aktivitas sebagaimana pada umumnya, tidak berlawanan dengan prinsip kebebasan berpendapat dan berafiliasi yang selama ini diteguhkan di UUD 1945 pasal 28E poin 3. Bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Akan tetapi, kemasan tidak kemudian melupakan hal yang esensial. Bukan sebuah alasan saat Organisasi-organisasi “ideologis” dibiarkan terlalu bebas ketika nantinya akan melakukan arah gerak, termasuk perubahan signifikan pada metologi gerakan mereka. Adalah sebuah ironi ketika keberadaan ideologisasi tersebut ada pada sekitar lingkup masyarakat akan tetapi dalam sistematika pembinaan mereka, justru merupakan awal mula dari gerakan makar. Tidak untuk ditujukan kepada siapa, gerakan-gerakan ideologis yang ada dalam konteks pencerdasan sosial dan pendidikan politik sangat dibutuhkan masyarakat. Namun tidak untuk kemudian merekayasa suatu bangunan tentang sistem Negara tandingan. Dalam kehidupan demokratis, diperlukan adanya suatu dissenting opinion tidak hanya sebagai aspirasi, akan tetapi merupakan check & balance dalam fungsinya sebagai kekuatan moral yang menghindari pemegang kekuasaan dari kesewenang-wenangan. “gerakan politik” kelompok-kelompok “radikal” ini secara tidak langsung berperan dalam propaganda pada publik untuk menciptakan atensi dan bangunan opini mengenai distrust terhadap Negara. Bahwa pemerintah telah gagal menghadirkan kesejahteraan, Indonesia Negara gagal, Indonesia antek asing, dan lain sebagainya. Seolah-olah segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen strategis Negara ini tidak pernah ada benarnya. “tradisi kritik” menjadi sebuah keniscayaan bagi gerakan-gerakan radikal dalam pola gerakan fase awal. Akan berbeda kisah nantinya apabila gerakan-gerakan radikal ini sudah memperoleh akses, basis massa, dan momentum yang tepat untuk merealisasikan tujuan mulia, Negara Islam.

Maka kemudian kita tidak terlalu agresif merespon keberadaan ISIS (Islamic State of Iraq Syria) yang perlahan mulai mengambil atensi masyarakat kita. Bahkan Ormas terbesar, Muhammadiyah dan NU memberi stance pernyataan atas keprihatinan, sekaligus himbauan agar masyarakat ikut mengawasi dan mewaspadai potensi dan benih-benih dari gerakan ISIS. Peristiwa Bom Bali 2002 lalu. Dan diikuti dengan serangkaian penangkapan “teroris-teroris”, sudah cukup memberikan awareness yang cukup mengenai siapa teroris. Tapi tidak cukup banyak menjawab siapa pelaku radikalisme.

Bangsa Indonesia yang sudah berpengalaman mengecap asam-garam kasus-kasus “radikalisme”. Seharunsya bisa lebih cermat menanggapi dan mengambil sikap pada sisi mana radikalisme harus ditolerir, dan apa langkah aktual, baik pemerintah maupun masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif yang utuh tentang upaya menghadapi radikalisme, yang jelas mengancam eksistensi nilai Pancasilais dan substansialisme Demokrasi di Negara ini. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan penyadaran kepada masyarakat luas tentang siapa ancaman aktual bangsa ini sebenarnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun