“Saya memiliki keyakinan, bahwa pada saatnya nanti, tatkala budaya bercerita semakin akrab dalam tradisi tulis-menulis para santri, mereka akan benar-benar berhasil mewartakan hakikat pesantren pada khalayak secara orisinal.” (Dwy Sadoelláh dalam pengantar Antologi Cerpen Omim Jilid 2).
Tahun lalu untuk pertama kalinya majalah Ijtihad menerbitkan sebuah antologi cerpen dari kompilasi di setiap edisinya. Sebelumnya Sidogiri tidak pernah bergaung di ranah sastra itu pun hanya bisik-bisik di bilik-bilik mereka. Beberapa hari lalu, untuk yang kedua kalinya Ijtihad menerbitkan antologi kedua. Hal itu menjadi penanda bahwa gejolak ekspresif santri dalam mengemukakan gagasannya semakin berwarna meskipun dalam kenyataannya sastra “luar” lebih unggul. Akan tetapi terasa aneh bila sastra menggaung di pesantren sekaliber Sidogiri yang di dalamnya lembar-lembar turast yang lebih populer di telinga mereka di bandingkan sastra. Faktanya, mereka keluar dari pakem. Mereka menyentuh “daerah” yang tidak ada di kurikulum mereka. Dua antologi tersebut membuktikan bahwa mereka sangat ekspresif menggambarkan kepeduliannya pada agama dan bangsa.
Dalam ranah sastra pesantren, tentu kita mengenal KH. Musthafa Bisri atau lebih akrab dipanggil Gus Mus. Atau Helvy Tiana Rosa dengan genre sastra remajanya. Atau sastrawan eksentrik dari Sumenep, M.Faizi dan masih banyak lagi sastrawan yang lahir dari rahim pesantren.
Ada beberapa alasan kenapa sastra pesantren lebih excited untuk dinikmati. Faktor sosio-vertikal menempati urutan teratas. Beberapa sebab diantaranya adalah gejolak dalam diri mereka menderu dalam hal masalah hubungan ketuhanan. Dalam ranah sosial mereka berhubungan dengan manusia-manusia dari semua lapisan masyarakat yang menuntut mereka merasakan sebuah arti hidup yang lebih move on dengan seabrek problematikanya.
Ketertarikan pada lawan jenis atau yang lebih ekstrem dari itu juga memberikan sumbangsih besar dalam ruh karya sastra mereka. bahkan dalam ranah ini mereka lebih ekspresif lagi. Gejolak hati yang merindu tanpa disadari membuat mereka dicap sebagai “sastrawan” dadakan. Toh, meskipun begitu mereka tidak tahu tentang teori sastra satupun. Tapi pada kenyatannya karya mereka tetap enak untuk dinikmati bahkan diapresiasi.
Rasa nasionalisme sebagai warga negara membuat mereka menjadi lebih peduli melalui karya mereka. Sebagai warga negara yang tidak tahu harus melakukan apa pada negerinya yang “bergejolak”. Mereka memilih jalan pintas. Apalagi kalau bukan dengan sastra. Mereka bebas menyeruduk, menikam, bahkan menerjang orang yang di “atas” sana dengan karya yang tidak membuat dahi berkerut. Bahkan karyanya itu lebih menohok dari pada melakukannya dengan gaya konvensional.
Begitulah santri dengan berbagai macam problematika hidup yang kompleks melingkupi mereka. Mereka hidup dalam ghirah inspirasi yang tak pernah hilang dalam sanubarinya. Memang sudah sepatutnya mereka mecoba sarana dakwah yang tanpa harus mengerutkan kulit muka. Olehnya sastra tidak akan pernah penuh dimakan zaman karena bagi mereka sastra tidak hanya berdiri sebagai pengungkapan gejolak batin belaka, mereka senantiasa eksis sebagai manifestasi dari warisan para ulama untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Sampai kapanpun sastra tidak akan pernah kehilangan inspirasi yang lahir dari bilik sederhana mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI