Mohon tunggu...
Ahmad Luqman
Ahmad Luqman Mohon Tunggu... Administrasi - tinggal di Bandung

penikmat kompasiana... kecuali tulisan dagelan... (WA 0878-7690-9696)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemiskinan: Statistik Versus Kasuistik

23 Januari 2019   09:10 Diperbarui: 23 Januari 2019   09:31 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Paska BPS merilis angka kemiskinan dibawah satu digit beberapa waktu lalu, perdebatan cukup panjang sampai saatini. Ada yang pro, juga ada yang kontra. Perdebatan semakin panas karena mau tidak mau bersinggungan dengan pesta demokrasi tahun 2019 . Pemilihan presiden dan  wakil presiden, juga pemilihan anggola legislatif makin meramaikan.

Perdebatan ini juga makin ramai dengan komentar para pengamat/politisi. Seringkali, mereka kurang memahami problematika kemisikinan ini dari sisi metode statistik. Terutama terkait penghitungan angka kemiskinan.Kembali teringat sindiran almarhum Gus Dur,di negara kita ini banyak yang tidak sadar telah terkena penyakit 'Asma', yaitu asal mangap tanpa mengerti substansi.

Untuk menghindari adanya kesalahpahaman, sebenarnya kepala BPS langsung telah menjelaskan metodologi penghitungan angka kemiskinan ini, Termasuk dijelaskan juga konsep dan definisi penduduk miskin serta metodologinya. Penjelasan ini sangat komprehensif dan terang benderang.  Telah dijelaskan bahwa BPS menggunakan pendekatan basic need approach(konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar) dalampengukuran kemiskinan ini.

Berdasarkan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan kata lain, penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Untuk pengukuran kemiskinan ini,  BPS menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Konsumsi dan Pengeluaran yang dilaksanakan setiap bulan Maret dan September setiap tahun. Pendekatan basic need approach ini tidak hanya dilakukan di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain.

Permasalahan yang biasanya banyak terjadi di masyarakat adalah membenturkan data statistik dengan temuan yang bersifat kasuistik.  Seringkali kita mendengar seseorang membantah suatu angka statistik yang dirilisBPS atau lembaga Survei Non Pemerintah  dengan kasus-kasus yang ada di sekitar rumah, kantor atau keluarga mereka. Misalkan ketika  BPS rilis angka pengangguran (Tingkat Pengangguran Terbuka, TPT) yang menunjukan adanya penurunan. Respon mereka biasanya langsung dengan membenturkan angka tersebut dengan beberapa kasus pengangguran yang ada di sekitar tempat tinggal atau keluarga mereka. 'Tidak mungkin angkat pengangguran turun, keluarga dan tetangga saya masih banyak yang nganggur', begitu kira-kira komentarnya.

Demikian juga ketika BPS merilis angka kemiskinan. Respon orang kebanyakan adalah mengkritisi angka tersebut dengan menyebutkan temuan-temuan orang miskin versi mereka sendiri yang ada di sekelilingnya. Biasanya temuan-temuan itu digeneralisir dan diangkat sebagai bantahan atas angka resmi dari BPS. Generalisasi yang mereka lakukan umumnya tidak berdasarkan kriteria atau ukuran yang jelas dan cenderung subyektif. Malah mungkin saat ditanya  apa pengertianatau yang dimaksud dengan 'orang miskin' saja tidak dapat menjelaskan secara jernih dan dengan argument yang kuat.

Data statistik tentu saja sangat tidak relevan jika dibandingkan dengan data yang hanya berdasarkan temuan-temuan yang bersifat kasuistik.  Data statistik diperoleh melalui metode statistik. Metode statistikmencakup tahapan-tahapan perencanaan (penetapan tujuan survey, konsep, definisi dan metodologi), pelaksanaan lapangan, pengolahan dan analisis data, dan penyajian data. Semuanya dilaksanakan dengan kaidah-kaidah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilimiah.

Berbeda dengan data yang berasal dari temuan-temuan yang bersifat kasuistik. Informasi ini sangat terbatas dan biasanya cenderung disesuaikan dengan selera masing-masing. Datadari temuan-temuan kasuistik sebenarnya mungkin saja jadi  gambaran suatu populasi dengan syarat populasi tersebut relatifbersifat homogen. Untuk populasi yang heterogen tentu saja sangat tidak tepat  untuk dijadikan rujukan.

Pembenturan data statistik yang dirilis resmi dengan data hasil temuan-temuan yang bersifat kasuistik tentu saja berdampak kurang baik baik pendidikan literasi statistik masyarakat.  Literasi statistik masyarakat sangat berguna untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.  Pembenturan ini akanmembingungkan masyarakat.  Apalagi jika pembenturan ini dilakukan oleh banyak kalangan yang relatif didenger omongannya oleh para pengikutnya.

Dampak lainnya adalah hal ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Apalagi pada tahun politik seperti sekarang ini yang sangat mudah terjadinya gesekan-gesekan antar pendukung calon kontestan.  Tentu kita sangat tidak ingin terjadi adanya benturan antar masyarakat kita sendiri hanya karena ulah segelntir orang yang membenturkan data statistik dengan data kasuistik.

Untuk menghindari adanya dampak negatif tersebut, sebaiknya  para semua pihak terutama para pengamat baik akademisi, politisi maupun para aktivis lainnya melakukan tiga hal sebagai berikut :Pertama, memahami substansi atas permasalahan.  Untuk  angka kemiskinan misalkan, upayakan memahami konsep, definisi dan metodologi dalam penghitungan angka kemiskinan tersebut.  Saya pikir tidak usah lah disebutkan bagaimana caranya. Kemajuan teknologi informasi saat ini sangat memanjakan dan memudahkan kita untuk mendapatkan itu semua.

Kedua, tidak bertindak atau bicara secara reaktif.  Tindakan reaktif hanya akan menghasilkan hasil yang kontraproduktif. Tentu saja hal ini tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga masyarakat pada umumnya.  Sebaiknya terlebih dulu menyelami makna dibalik angka tersebut, yang dilanjutkan dengan konfirmasi untuk memperoleh penjelasan yang lebih utuh dan detail.

Ketiga, menjelaskan kepada masyarakat umum secara lengkap jika memiliki pandangan atau penilaian yang berbeda dengan data yang dirilis resmi. Penjelasan ini harus diupayakan mudah ditangkap dan dipahami masyarakat umum. Tentu saja ini memerlukan keterampilan komunikasi yang mumpuni. 

Tulisan telah ditayangkan di sini sebelumnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun