Hari masih gelap pagi, ketika Mbah Sardi, sapaan akrab Mbah Diman yang seorang Muadzin di desa itu melangkahkan kakinya menuju rimbunnya pepohonan, lalu hilang ditelan lebat pekarangan di kiri dan kanan rumahnya. Malam tadi, hujan turun cukup deras. Mbah Sardi bergegas pagi buta itu, karena ingin segera menyambangi sahabatnya dan memberinya ucapan selamat. Ucapan untuk apa?
"Syukurlah, begitu kutanam engkau, Allah memberimu hujan", katanya kepada pohon yang kemarin sore baru saja ditanamnya.
"Itu pertanda Allah berkenan dan gembira atas tumbuh dan kehidupanmu selanjutnya!", tambahnya.
Lalu dengan parang di tangannya, dipotonglah beberapa ranting pohon besar yang menjulur menghalangi sinar mentari menerangi pohon kecil yang baru ditanamnya itu. Itu pun setelah Mbah Sardi meminta ijin pada pohon besar yang juga sahabatnya sejak sepuluh tahun terakhir ini.
"Aku baru saja membawakan kawan baru untukmu, jadi tolong jaga dia, agar dia tumbuh besar ya?", kata Mbah Sardi meminta sambil menepuk si Pohon Besar.
"Aku juga minta maaf dan ijin, karena aku akan memotong sedikit rantingmu yang sepertinya agak mengganggu dia!", lanjutnya.
Sejenak Mbah Sardi terdiam, beberapa saat kemudian mengangguk-angguk seakan baru saja mendapat ijin, lalu mengayunkan parangnya yang tajam.
Kemudian Mbah Sardi pun berdoa.
"Yaa.. Allah, berkatilah hidup dan tumbuh-suburkanlah tanaman yang saya tanam ini, jadikanlah mereka sahabat saya yang Engkau utus untuk mengirim rizki bagi saya, Aamiin."
Sambil tersenyum, dipandangilah pepohonan yang disebutnya sebagai para sahabat yang diajaknya berbicara seakan mereka dapat berkata-kata.
Sesaat kemudian Mbah Sardi tertegun, beberapa puluh meter di samping kanannya, setandan pisang telah masak di pohon, bahkan beberapa buah di antaranya telah robek dimangsa kelelawar. Dihampirinya pohon pisang itu, lalu tepuk-tepuk dan ditangisinya.