Transparansi Sejarah G30S PKI: Edukasi Sejati atau Doktrinasi?
Oleh: A. Rusdiana
Semester ganjil tahun akademik 2025/2026 telah dimulai pada 1 September 2025 hingga 19 Desember 2025. Di tingkat S1 saya mengajar Metode Penelitian, sementara di S2 saya mengampu mata kuliah Manajemen Sumber Daya Pendidikan serta Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Fenomena pendidikan kita hari ini menegaskan bahwa transparansi dan keterbukaan semakin mendesak untuk diperjuangkan. Presiden Indonesia kemarin dalam pidato resminya menyebut kembali kisah Presiden pertama Republik, sementara hari ini publik juga disuguhi perdebatan tentang perubahan sistem. Dua momen itu mengingatkan bahwa sejarah dan politik tidak pernah steril dari kepentingan. Demikian pula dunia akademik: apakah dosen dan mahasiswa siap bercerita apa adanya, "yang pahit tetap pahit, yang manis tetap manis"?
Teori transparansi menyebutkan, kejujuran informasi adalah fondasi pembelajaran yang sehat. Al-Qur'an mengingatkan: "Janganlah kamu sembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh hatinya berdosa" (QS. Al-Baqarah: 283). Dalam konteks akademik, transparansi berarti menyampaikan kritik dengan ikhlas demi perbaikan. Soft skills global seperti integritas, branding akademik, serta etika komunikasi menjadi bagian dari tuntutan ini. Teori Job Demand Job Resources menekankan pentingnya keseimbangan antara tuntutan kerja dengan dukungan sumber daya, sehingga mendorong work engagement. Wenger dengan community of practice serta Vygotsky dengan social learning menegaskan: keterbukaan adalah prasyarat tumbuhnya pembelajaran kolaboratif. Gap-nya jelas: banyak dosen lebih senang dipuji mahasiswa dan atasan daripada membimbing dengan jujur. Padahal pepatah mengingatkan, "Jika suatu pekerjaan diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah kehancurannya."
Tujuan penulisan ini adalah menguraikan lima pilar pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam dunia pendidikan, agar dosen, mahasiswa, dan pemangku kebijakan dapat berbenah dengan landasan akademik yang sehat. Berikut, Lima Pilar Transparansi dan Keterbukaan:
Pertama: Kejujuran dalam Tugas dan Penilaian; Dalam praktik, mahasiswa kerap tergoda melakukan plagiasi atau membeli tugas. Dosen pun kadang membiarkan atau bahkan memfasilitasi. Transparansi menuntut keduanya jujur: mahasiswa mengerjakan sesuai kemampuan, dosen menilai apa adanya. Bahkan aturan melarang dosen menerima hadiah dari mahasiswa pasca-ujian karena termasuk gratifikasi. Transparansi akademik berarti mencatat, mendokumentasikan, dan melaporkan setiap proses dengan bukti yang dapat diverifikasi. Kejujuran pahit memang tidak nyaman, tetapi justru di situlah pendidikan sejati bekerja.
Kedua: Keterbukaan dalam Diskusi dan Kritik; Perkuliahan tidak boleh berhenti pada instruksi satu arah. Mahasiswa berhak mengajukan kritik terhadap metode, bahan ajar, bahkan kelemahan dosennya---dengan cara santun. Dosen harus memberi ruang, bukan justru menutupinya. "Mind match" dibangun ketika mahasiswa dan dosen sama-sama mau terbuka terhadap realitas: jika salah, akui salah; jika benar, katakan benar. Keterbukaan semacam ini melatih keberanian berargumentasi dan integritas ilmiah.
Ketiga: Transparansi dalam Pengelolaan Riset dan Data; Riset akademik menuntut disiplin tinggi. Sayangnya, praktik manipulasi data atau sekadar "asal jadi" masih ditemukan. Pilar transparansi menegaskan: data harus bisa dicek, proses analisis harus bisa diuji, dan laporan harus dapat dipertanggungjawabkan. Mahasiswa belajar bahwa ilmu bukan untuk pencitraan, melainkan untuk mengungkap realitas. Dosen pun dituntut jujur menyebutkan keterbatasan penelitian, bukan sekadar menonjolkan hasil positif.
Keempat: Keterbukaan terhadap Sejarah dan Kenyataan Pahit; Seperti halnya kontroversi peristiwa 1965 yang masih menyisakan kabut, dunia pendidikan juga sering menutupi sisi-sisi kelam. Transparansi mengajarkan bahwa sejarah tidak boleh direduksi hanya untuk kenyamanan politik. Begitu pula di kelas: jika ada kegagalan sistem, korupsi anggaran, atau ketidakadilan akademik, hal itu perlu dibicarakan secara proporsional. Mahasiswa belajar bahwa menghadapi kenyataan pahit lebih mendewasakan daripada hidup dalam ilusi manis.
Kelima: Transparansi sebagai Soft Skill Global dan Branding Akademik; Di era kompetisi global, transparansi bukan hanya nilai moral, tetapi juga strategi branding. Universitas yang terbuka akan dipercaya, dosen yang transparan akan dihormati, dan mahasiswa yang jujur akan lebih mudah diterima dunia kerja. Transparansi melatih work engagement karena mahasiswa tahu bahwa usaha mereka dihargai adil. Dengan keterbukaan, perguruan tinggi dapat membangun citra akademik yang berkelanjutan, bukan sekadar pencitraan sesaat.